AswajaNews – Ketika membaca atau menyelami tentang mitos, bagi sebagian yang pernah membaca semiotika, tentu ingatan mereka akan ‘menyeruak’ pada orang bernama Roland Barthes, tokoh semiotika dari Prancis. Selain (dan sebelum bicara) mitos, dia juga dikenal dengan ungkapan lain, misalnya mengenai the dead of author. Kata-kata yang terakhir ini seolah-olah menjadi penegas tentang teks yang berdiri sendiri, bahwa ketika teks lahir, pada saat yang bersamaan penulis akan “mati”.
Mengapa demikian? Pembaca teks adalah manusia yang independent, penulis ibarat orang tua yang melahirkan anak, ketika anaknya sudah lahir, anak tersebut sudah mempunyai dunianya sendiri. Lantas apa yang akan menjadi konsekuensi jika berlangsung demikian? Sesuatu teks bisa memiliki banyak makna dan bahkan seribu kemungkinan. Akhirnya, segala sesuatu yang berhubungan dengan teks tidak lagi diartikan, melainkan “hanya” diuraikan atau ditafsirkan.
Pada kesempatan yang lain, Barthes juga mengatakan, “Kita selalu bertemu dengan hal-hal baru, tetapi tidak dengan makna yang baru. Kita lebih menginginkan citra bahwa kita menyayangi dari pada kasih sayang itu sendiri”.
Apa yang kita lihat dan apa yang kita gunakan “mau tidak mau” akan memunculkan interpretasi tentang status sosial di masyarakat. Kendaraan, minuman, pakaian, hingga makanan yang kita nikmati akan mengarah pada status sosial tersebut.
Baik diakui atau tidak, hari ini memang “hampir tidak ada” yang berbicara tentang dirinya sendiri, manusia selalu ada pada sebuah tanda dari apa yang sedang digunakan. Artinya, dunia manusia memang tidak bisa dibaca apa adanya, di sana selalu menimbulkan sesuatu_ homo simbolikum, dan simbol tidak selalu merepresentasikan sesuatu yang sama.
Manusia yang tidak bisa melepaskan dirinya dari budaya, maka menjadi lumrah jika Barthes akhirnya mengatakan bahwa kebudayaan itu sama halnya dengan bahasa. Ketika kita membacanya, maka akan sama ketika sedang membaca sebuah teks: siapa pengarang, seperti apa lingkungan yang membentuk, dan siapa pembacanya. Kebudayaan di sini dipahami sebagai sesuatu yang membedakan manusia dengan binatang. Isi di dalamnya tidak lain adalah simbol-simbol atau tanda-tanda. Atau dapat diartikan bahwa sesuatu yang hadir mewakili apa yang tidak hadir.
Sesuatu tanda bisa memiliki banyak makna dan manusialah yang terlibat aktif dalam proses pemberian makna pada horison budaya tersebut. Proses pemberiaan makna ini dalam bentuk ekstrimnya dinamai dengan mitos. Jadi, kita selalu hidup dalam mitos-mitos, entah mitos yang sama atau mitos yang berganti dengan yang baru.
Lalu apa itu mitos? Sebelum menjawab ini, terlebih dulu kita masuk kepada denotasi dan konotasi “ala” Barthes yang nanti akan digunakan untuk mengurai tentang mitos tersebut.
Jika dimaknai secara bebas, denotasi adalah fakta apa adanya, sedangan konotasi adalah interpretasi (yang bebas) dari fakta tersebut. Dalam arti lain, denotasi adalah proses pembacaan yang mengacu kepada rangkaian katanya, dipahami langsung dan bersifat pasti. Sedangkan konotasi adalah makna yang tidak bisa kita tangkap dari teksnya, dan karena itu proses pembacaannya harus masuk ke dalam (kritis).
Pada akhirnya, konotasilah yang lebih sering digunakan oleh Barthes dalam melihat sebuah simbol. Oleh karena itu, dia menggarisbawahi bahwa konotasi yang digiring, diseragamkan, “dicekokkan”, kemudian diyakinkan bahwa inilah proses konotasi yang benar, itulah mitos. Barthes menyebut ini dengan proses mitologisasi. Contoh konkretnya, kasus ini banyak terjadi pada iklan dan media.
Di sisi lain, mitos adalah sebuah pesan atau tuturan yang diyakini sebagai kebenaran namun susah untuk dibuktikan. Dalam mitos, yang terpenting bukan konsep dan idenya, melainkan maknanya. Mitos juga sejenis sistem komunikasi: ada pesan yang ingin disampaikan dan definisi pesan itu tidak menempel di objeknya, tetapi diberikan oleh penuturnya. Pesan akan tergantung pada penuturnya, bukan pada objek yang diobjektifikasi.
Dalam makna yang luas, mitos itu tanda yang dianggap kosong kemudian diisi dengan ideologi. Ini yang disebut konotasi, seperti yang dijelaskan di atas. Di sana ada naturalisasi konsep, artinya sesuatu yang tidak alami dipaksakan alami. Padahal mitos bersifat konotatif, dia adalah tanda yang kosong dan kita dipaksa untuk mengikuti dan menggunakan isi tersebut.
Bagi Barthes, kita tidak hidup di antara benda-benda, melainkan opini-opini atau kita hidup di belantara mitos-mitos itu sendiri. Jika sebelumnya sudah dijelaskan bahwa mitos itu sifatnya seperti ideologi yang dianggap pasti benar, maka lebih lanjut, mitos diposisikan untuk pedoman bertindak. Jadi bukan dilihat dari kreatifitas manusia, melainkan sebagai hakikat.
Misalnya, orde baru yang mempertahankan mitos-mitos tentang kejamnya komunis. Sehingga masyarakat kita agak “gagap” membaca sistem bernama sosialisme. Konotasi tentang komunis tidak akan terbuka dan yang digunakan hanyalah komunis itu jahat tanpa membaca secara mendalam. Model seperti ini biasanya enggan untuk menerima alternatif lain, alih-alih menyebutnya baru.
Mitos biasanya lahir, pertama-tama melalui kalimat yang “seolah-olah” sulit untuk dipertanyakan. Kedua, sesuatu yang seharusnya kualitatif tetapi diukur secara kuantitatif. Ketiga, mereduksi makna (identitas) menjadi satu makna. Keempat, membuang arti sejarah yang sebenarnya dan mengabaikan historisitas fenomena dan fakta.
Dalam lingkup kehidupan yang berlangsung, kembali meminjam Barthes, mitos ini disikapi dengan tiga cara. Pertama, manusia sebagai produsen yang selalu fokus pada penanda kosong, dan bisa memberi makna sesukannya. Dalam lingkup yang lebih besar, hal ini sering dilakukan oleh korporasi-korporasi, pemerintah, para elit dan kaum borjuasi.
Kedua, manusia sebagai konsumen yang selalu menjadi korban mode, korban media dan korban hoaks. Mereka selalu bertemu dengan penanda yang sudah penuh dengan isi, bukan penanda yang kosong_ melihat tanda yang bersamaan dengan isi.
Ketiga, konsumen kritis, mereka mampu membedakan antara makna dan bentuknya atau petanda dan penandannya. Mereka mempunyai fokus untuk memperhatikan mekanisme lahirnya mitos.
Kelompok terakhir ini mampu menghubungkan mitos dengan setting sejarah: kapan lahir, dalam situasi apa, siapa yang melahirkan serta apa kepentingannya. Mereka mampu menghubungkan antara mitos dengan dunia sosial, politik, budaya dan lain-lain yang ada di sekelilingnya. Dan mereka mampu membuktikan bahwa mitos memang menyembunyikan sesuatu ideologi tertentu.***
Penulis dan Editor: Dani