Aswaja News – Selain dikenal dengan budaya Reognya, Ponorogo juga dikenal sebagai tempat yang banyak meninggalkan petilasan bersejarah. Tidak terkecuali yang kini ada di Desa Kutu Kecamatan Jetis.
Ketika waktu itu Majapahit masih menguasai wilayah yang kini disebut Ponorogo, di sana ada sebuah Kademangan (distrik) bernama Kademangan Kutu.
Demang dari Kutu tersebut bernama Ki Ageng Ketut Surya Ngalam (Ki Ageng Kutu), di mana ia awalnya merupakan pembantu yang sangat dekat dengan Raja Majapahit, yaitu Prabu Brawijaya V.
Karena ada konflik di kerajaan yang tidak sejalan dengan dirinya, Ki Ageng Kutu akhirnya membangun peradaban baru, tepatnya di tenggara Gunung Lawu sampai barat Gunung Wilis. Atau yang kemudian lebih dikenal dengan nama Wengker.
Lokasi petilasan tersebut tepatnya berada di sebuah persawahan rakyat di Desa Kutu Wetan. Tempat tersebut banyak ditumbuhi rumput-rimbun dan di sekitarnya banyak pohon suru yang tumbuh.
Masyarakat setempat kemudian menamai tempat itu dengan Suru Kubeng. Selain karena banyaknya pohon suru yang tumbuh, yang kini sebagian telah dibabat dan dibersihkan, masyarakat setempat meyakini bahwa tempat tersebut merupakan petilasan dari Demang Surya Alam. Yakni seorang Senopati atau prajurit Majapahit, yang memiliki kesaktian luar biasa.
“Banyak masyarakat meyakini jika tempat tersebut sebagai petilasan Padepokan Suru Kubeng milik Demang Surya Alam. Dulu itu, tempat tersebut merupakan panggon bagi murid-murid Suru Kubeng untuk mendapat pendadaran dan diajarai ilmu kesaktian oleh Demang Surya Alam,” tutur Mbah Jito selaku juru kunci petilasan Suru Kubeng tersebut.
Mbah Jito mengatakan bahwa tempat tersebut dulunya terkesan dengan nuansa angker. Banyak masyarakat yang takut untuk kesana. Hingga akhirnya ia terpanggil untuk membersihkan rerumputan untuk menghilangkan nuansa angker tersebut.
Alasan lain Mbah Jito adalah karena tempat tersebut berada di sekitar tanah sawah milik keluarga dari kakek dan neneknya, maka sekalian ia membersihkan.
Dengan uang dan kemampuan keluarganya, tepat pada tahun 2002 yang lalu, Mbah Jito kemudian membangun tempat tersebut. Selain agar tempat itu terlihat bersih, Mbah Jito juga berharap jika ada orang yang mau berdoa di sana dengan agama dan kepercayaan yang diyakini bisa lebih tenang.
“Juga kami tanami beberapa pepohonan, sehingga terlihat rindang seperti sekarang,” tambahnya.
Mbah Jito sendiri mempunyai pendapat jika Suru Kubeng merupakan bagian dari sejarah tua di daerah Mataraman, bahkan ada sebelum nama Ponorogo itu dikenali.
Oleh sebab itulah, Mbah Jito berharap besar kepada generasi muda agar mereka tidak mudah melupakan sejarah. Terlebih yang ada di Ponorogo sendiri, karena dengan demikian generasi muda akan mampu mengenal lebih utuh perjuangan yang telah ditempuh oleh para pendahulu.
Sampai sejauh ini, tidak sedikit orang yang datang ke Suru Kubeng dari berbagai Kota. Kebanyakan mereka datang untuk berdoa kepada Tuhan, agar memiliki kedudukan dan pangkat.
“Biasanya jika mendekati pemilihan, apapun itu, banyak calon lurah, calon legislatif dan bahkan calon bupati dari berbagai daerah yang datang, mereka berdoa mohon keanugerahan dari Tuhan di Suru Kubeng tersebut. Rata-rata hajat mereka yang datang banyak terkabul,” terang Mbah Jito menambai. (dani)
nice!
regard
Telkom University