Dari Kota Santri ke Kota Peradaban: IPPNU Ponorogo Dorong Santri Upgrade Diri di Momentum HSN

Aswaja News – Menjelang peringatan Hari Santri Nasional (HSN) 22 Oktober 2025, atmosfer religius dan intelektual kembali menggema di Bumi Reyog. Tahun ini, Jaringan Kiai Santri Nasional (JKSN) menetapkan Ponorogo sebagai tuan rumah peringatan nasional, dengan tema besar “Mengawal Indonesia Merdeka, Menuju Peradaban Dunia.”

Penunjukan ini bukan tanpa alasan. Ponorogo memiliki sejarah panjang kesantrian, berawal dari berdirinya Pesantren Tegalsari oleh Kiai Ageng Muhammad Besari, yang kemudian mencapai puncak kejayaannya di bawah kepemimpinan Kiai Hasan Besari pada abad ke-18 hingga 19.

Dari rahim pesantren inilah, benih keilmuan, moralitas, dan kepemimpinan santri tumbuh subur hingga kini.

Namun, di balik kebanggaan itu, Ketua PC IPPNU Ponorogo Azza Fahreza mengingatkan bahwa sejarah besar tidak cukup dirayakan—ia harus diolah menjadi energi untuk kemajuan baru.

“Tantangan itu sebenarnya lebih terasa bagi santri, khususnya generasi muda NU melalui IPPNU. Pertama, kita bersyukur bahwa Ponorogo punya warisan besar, tetapi refleksinya adalah bahwa sejarah ini harusnya bisa melahirkan banyak inovasi. Nyatanya kita masih berjuang dalam isu literasi, digitalisasi, bahkan pemberdayaan ekonomi, atau isu terkait pengelolaan sampah yang belum terkelola dengan baik di pesantren,” ujarnya.

Menurutnya, banyaknya pesantren di Ponorogo adalah potensi sekaligus ujian, karena tanpa tata kelola dan kolaborasi yang kuat, potensi tersebut justru bisa tersebar tanpa arah.

“Kedua, pesantren yang kita punya ini menjadi kekuatan sebenarnya, tapi tanpa sinergi yang kuat, itu bisa menjadi potensi yang berantakan. Harapan kami, NU Ponorogo harus mampu menjadi rumah besar yang memfasilitasi sinergi antar pesantren tersebut dengan menghubungkan ulama, santri, dan masyarakat agar tidak berjalan sendiri-sendiri,” tambah Azza.

Dalam pandangan IPPNU, HSN bukan hanya seremoni, melainkan momen pembaruan diri dan reposisi peran santri di tengah dunia yang berubah cepat.

“Terakhir, bagi IPPNU Ponorogo, jelas bahwa momentum ini adalah peluang untuk menunjukkan peran strategis, utamanya dalam membangun literasi santri putri, wadah untuk menyiapkan kader kami yang mampu berbicara di level akademik, publik, dan digital, hingga menanamkan kesadaran bahwa santri hari ini bukan hanya penjaga tradisi, tetapi juga penentu arah peradaban,” jelasnya.

Azza menekankan bahwa menjadi penentu arah peradaban berarti berani melangkah melampaui batas-batas tradisional.

“Meskipun kata itu sudah lama digaungkan, namun dalam hal eksekusi masih perlu banyak berjuang. Alhasil harapannya ke depan, dimulai dari HSN ini bisa melahirkan kepemimpinan perempuan muda NU yang tidak hanya menjaga nilainya, tetapi juga menembus ruang-ruang baru baik politik, teknologi, pendidikan, hingga wirausaha,” pungkasnya.

Ponorogo sendiri kini menjadi rumah bagi lebih dari 120 pesantren, di antaranya Pondok Modern Darussalam Gontor, Pondok Pesantren Walisongo Ngabar, Pondok Pesantren Darul Huda Mayak, dan Pondok Pesantren Al-Islam. Dari rahim kota ini pula lahir para ulama besar seperti KH Imam Zarkasyi dan KH Hasyim Sholeh, yang meninggalkan jejak besar dalam pendidikan Islam dan moralitas bangsa.

Dengan kekayaan sejarah dan jumlah pesantren yang besar, Ponorogo kini ditantang untuk tidak hanya mempertahankan gelar “Kota Santri”, tetapi juga menjelma menjadi “Kota Peradaban”—tempat di mana santri tak hanya belajar kitab, tetapi juga menciptakan arah masa depan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *