Pajak Fir’aun, Cukai Triliunan, dan Keringat Petani di Ladang
Belum lama ini, Menteri Keuangan sempat membuat heboh dengan sebutan “pajak Fir’aun” untuk cukai rokok yang mencapai 57%. Memang, negara meraup untung besar. Pada tahun 2023 saja, penerimaan dari cukai rokok menembus Rp 218,85 triliun, setara sekitar 10% dari total penerimaan pajak nasional. Uang itu jelas berasal dari jutaan penikmat rokok yang hidupnya penuh tekanan.
Di zaman sekarang, depresi sudah jadi penyakit massal. Ada yang lari ke psikiater, ada yang mengandalkan obat penenang. Tapi bagi banyak orang, cukup dengan satu isapan nikotin, sensasi rileks bisa langsung terasa. Rokok menjadi katup pengaman di tengah rutinitas brutal. Di luar urusan personal, zat nikotin kini menjadi ladang bisnis raksasa. Dan di mana ada ladang emas, di situ ada perang.
Perang ini antara Big Tobacco vs Big Pharma.
Big Tobacco jelas adalah perusahaan rokok, cerutu, hingga rokok elektrik berbasis tembakau. Nilai pasarnya fantastis, lebih dari $800 miliar AS per tahun. Angka ini membuat siapa pun paham, bahwa rokok bukan sekadar kebiasaan, tapi mesin uang global. Di sisi lain, ada Big Pharma. Mereka juga menjual nikotin versi “sehat” berupa koyo, permen, inhaler, hingga obat berhenti merokok. Meskipun pasarnya lebih kecil, pertumbuhannya sangat cepat, ditambah lagi dengan dukungan dana filantropi internasional. Sebut saja Bloomberg Philanthropies yang sudah menggelontorkan $1,58 miliar sejak 2007 untuk kampanye anti-rokok, bekerja sama dengan lembaga seperti WHO.
Pada pandangan pertama, kedua kubu terlihat bermusuhan. Yang satu jualan rokok, yang lain jualan obat untuk berhenti merokok. Padahal intinya sama saja, yaitu rebutan pasar besar nikotin. Bahkan, banyak perusahaan Big Tobacco kini juga turut berinvestasi besar pada rokok elektrik dan produk tembakau yang dipanaskan, dan ini makin menunjukkan bahwa perang ini bukan hanya pertarungan, melainkan adopsi strategi baru dalam merebut pasar yang sama.
Siapa yang Nangis, Siapa yang Senyum?
Di balik perang tanpa peluru ini, ada wajah yang jarang terlihat, yaitu para petani tembakau, buruh pabrik rokok, dan bahkan industri rokok kecil. Dari Temanggung sampai Madura, dari Lombok sampai Sulawesi, terdapat ratusan ribu keluarga yang hidup mengandalkan ekosistem tembakau ini. Namun, nasib mereka harus puas hanya kebagian remah saja.
Industri rokok kecil, atau IHT golongan III, sangat rentan terhadap kebijakan pemerintah. Kenaikan cukai yang tinggi sering kali membuat mereka kesulitan bersaing. Berbeda dengan produsen raksasa yang bisa menyiasati kenaikan cukai dengan modal besar, industri kecil harus menaikkan harga jual, membuat konsumen lari ke rokok murah atau bahkan rokok ilegal. Hal ini sering berujung pada kebangkrutan atau pengurangan tenaga kerja. Jadi, selain petani dan buruh, para pemilik UMKM ini juga menjadi korban dari kebijakan yang dibuat tanpa jaring pengaman.
Harga daun tembakau sering jatuh, ditentukan oleh tengkulak. Ditambah lagi, industri farmasi kini mulai memakai nikotin sintetis, membuat permintaan daun tembakau makin tertekan. Kalau tren ini terus berjalan, petani dan buruh rokok jelas bisa tersingkir. Paling menyakitkan, tidak ada jaring pengaman yang jelas. Buruh di-PHK, petani tercekik. Pola ini selalu sama di mana-mana.
Negara senyum lebar karena setiap saat menerima cukai. Korporasi besar, baik rokok maupun farmasi, juga punya strategi untuk tetap untung. Tapi lagi-lagi, petani, buruh, dan konsumen bawah? Mereka yang nangis.
Menyiapkan Jaring Pengaman yang Adil
Tulisan ini bukan soal membela rokok. Ini soal keadilan. Kalau negara serius ingin menekan konsumsi rokok, tanggung jawabnya bukan hanya menghajar perokok dengan pajak. Pemerintah juga harus memikirkan nasib mereka yang menanam tembakau, dan melindungi pelaku usaha kecil yang menjadi bagian dari ekosistem ini. Tanpa itu, kebijakan hanya jadi alat untuk memindahkan penderitaan dari perokok ke petani.
Lalu, apa yang bisa dilakukan?
- Diversifikasi Pertanian: Pemerintah harus menyediakan program transisi dengan insentif dan pelatihan bagi petani untuk beralih ke komoditas lain yang bernilai tinggi seperti kopi, kakao, atau rempah-rempah. Selain itu, riset harus didorong untuk memanfaatkan tembakau sebagai sumber nikotin untuk farmasi, pestisida organik, atau bahan baku bioplastik.
- Jaring Pengaman dan Pelatihan Ulang: Pemerintah, bekerja sama dengan industri, perlu menyediakan program bantuan tunai dan pelatihan keterampilan baru yang relevan bagi buruh yang di-PHK. Pelatihan ini bisa mencakup keahlian di sektor manufaktur lain, wirausaha, atau bahkan sektor digital.
- Penggunaan Dana Cukai yang Berkeadilan. Sebagian dari dana cukai rokok yang melimpah harus dialokasikan secara spesifik untuk mendanai program transisi ini. Dengan cara ini, perokok dan negara turut andil dalam memastikan kesejahteraan mereka yang berada di hulu industri.
Perang nikotin akan terus berlangsung, menyisakan satu pertanyaan besar: apakah kita rela membiarkan petani tembakau, buruh pabrik, dan UMKM selalu jadi korban abadi dari perang yang sebenarnya tidak pernah mereka pilih?
Selasa, 23 September 2025