Panen Raya dan Asa Perempuan Penebang Tebu di Magetan

AswajaNews – Musim tebang tebu di sejumlah wilayah Kabupaten Magetan rupanya menyisakan kisah yang getir. Di tengah mayoritas buruh penebang tebu yang didominasi laki-laki, ternyata ada juga kaum perempuan yang ikut turun tangan mengais rezeki.

Salah satunya adalah Ngadmi, 38, warga Kecamatan Poncol yang sudah beberapa tahun terakhir bekerja sebagai buruh penebang tebu jika musim tebang tiba. Pekerjaan itu dijalaninya untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga sekaligus biaya sekolah anak-anaknya.

“Sehari pendapatannya sekitar Rp50.000-Rp55.000. Itu buat beli kebutuhan makan seperti lauk pauk, sisanya ditabung untuk sekolah anak,” ujarnya saat ditemui di kebun tebu Desa Mangunrejo, Kecamatan Kawedanan, Minggu (21/9/2025).

Ngadmi tidak sendiri. Dia bergabung dengan puluhan buruh tebang tebu perempuan lain yang sejak matahari terbit sudah berangkat dari rumah masing-masing menuju ladang. Dalam sehari, kelompok berisi sekitar 25-30 orang itu bisa mengisi lima hingga enam truk tebu yang kemudian dikirim ke pabrik gula untuk diolah lebih lanjut.

“Kesulitannya itu kalau tebunya sudah roboh. Harus ditarik lalu dibersihkan, itu berat sekali,” katanya sambil mengusap keringat yang terus bercucuran.

Meski suaminya juga bekerja di usaha mebel, penghasilan keluarga mereka masih jauh dari cukup. Karena itu, Ngadmi merasa ikut bertanggung jawab menopang ekonomi rumah tangga.

“Capek itu pasti, panas apalagi, sudah jadi makanan sehari-hari. Tapi ya harus dijalani, buat bantu suami memenuhi kebutuhan,” ucapnya.

Pekerjaan berat yang identik dengan laki-laki tak membuatnya gentar. Bagi Ngadmi, setiap rupiah yang dia dapat sangat berarti untuk masa depan anak-anaknya.

Dalam menjalani pekerjaannya, tantangan terbesar baginya bukan hanya teriknya matahari, tetapi juga kondisi tebu yang roboh atau bengkong. Menarik batang tebu yang berat membuat tubuhnya kerap pegal.

“Menarik tebu itu loh Mas, aduh susah banget. Apalagi kalau roboh, tambah berat. Tapi ya daripada nganggur di rumah,” keluhnya.

Namun, semua rasa letih dan panas seakan terbayar ketika dia dan puluhan buruh yang lain memikirkan masa depan anak-anak mereka. Upah kecil sekalipun dianggapnya sebagai bekal berharga demi pendidikan mereka.

“Yang penting anak-anak bisa sekolah lancar. Itu saja sudah cukup buat saya,” kata dia.***

Penulis: Imam Mus

Editor: Dani

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *