Oleh: Dr. Lukman Santoso Az, (bergiat di ISNU Ponorogo; Pengajar Fakultas Syariah UIN Ponorogo)
Tahun 2025 ini, Ponorogo berusia 529 tahun sejak dibentuk pada 11 Agustus 1496. Tanggal bersejarah ini hampir bersamaan dengan perayaan 80 tahun kemerdekaan Indonesia. Usia lima abad tentu merupakan momen penting bagi Ponorogo sebagai satu entitas sosial-politik yang memiliki jejak panjang dalam lanskap ketatanegaraan Indonesia.
Perjalanan panjang ini bukan hanya kisah lokal tentang pertumbuhan sebuah wilayah, melainkan juga cermin dari dinamika pembentukan negara Indonesia yang besar.
Dari sebuah Kadipaten pada abad ke-16, Ponorogo berkembang menjadi bagian integral Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), melalui berbagai fase perubahan bentuk dan struktur pemerintahan.
Secara historis, Ponorogo dikenal sebagai kadipaten yang dibentuk sekitar tahun 1500-an oleh Bathara Katong, putra Brawijaya terakhir dari Majapahit.
Sebagai wilayah semi-otonom di bawah kekuasaan kerajaan Islam (Demak dan selanjutnya Mataram), Kadipaten Ponorogo memiliki sistem pemerintahan tersendiri, dengan pengakuan terhadap otoritas pusat sebagai bentuk patronase politik.
Model ini menunjukkan bentuk “ketatanegaraan tradisional”, di mana sistem kekuasaan dijalankan dalam kerangka relasi kerajaan dan daerah, dengan nilai-nilai feodal, loyalitas genealogis, dan spiritualitas kekuasaan yang kuat.
Masa kolonial Belanda membawa perubahan drastis dalam sistem ketatanegaraan lokal. Ponorogo dimasukkan dalam struktur administratif kolonial sebagai bagian dari Karesidenan Madiun.
Di sinilah proses formalisasi birokrasi modern mulai diterapkan: jabatan bupati diintegrasikan dalam struktur pemerintah kolonial, sistem pajak dan hukum barat mulai diperkenalkan, dan kewenangan tradisional pun secara perlahan tergerus.
Namun, nilai-nilai lokal tetap bertahan dalam budaya pemerintahan, khususnya dalam hal relasi sosial dan budaya antara pemimpin daerah dan masyarakat.
Setelah kemerdekaan, Ponorogo resmi menjadi kabupaten yang merupakan bagian dari Provinsi Jawa Timur. Transformasi sistem ketatanegaraan pun mengarah pada penguatan institusi negara modern, berbasis hukum positif, sistem demokrasi, dan administrasi publik.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 menjadi tonggak awal lahirnya pemerintahan daerah dalam sistem republik. Sejak saat itu, Ponorogo tidak lagi menjadi wilayah tradisional yang bergantung pada pusat kekuasaan raja, tetapi menjadi bagian dari sistem desentralisasi pemerintahan yang memberi ruang bagi partisipasi dan kemandirian daerah.
Kebijakan otonomi daerah pasca reformasi 1998 melalui UU No. 22 Tahun 1999 (dan revisinya menjadi UU No. 23 Tahun 2014) makin memperkuat posisi Kabupaten Ponorogo dalam struktur ketatanegaraan. Pemerintah daerah diberi kewenangan luas dalam pengelolaan keuangan, pembangunan, pendidikan, hingga tata ruang.
Namun tantangan pun mengemuka, seperti penyalahgunaan kewenangan, ketimpangan sumber daya, dan politisasi birokrasi.
Refleksi Lima Abad
Melihat Ponorogo dari perspektif ketatanegaraan, kita menyaksikan bagaimana sistem politik dan pemerintahan lokal telah melewati proses evolutionary adaptation.
Nilai-nilai tradisional semacam gotong royong, kepemimpinan yang berbasis moral, serta sistem sosial yang inklusif, masih menjadi landasan budaya politik lokal.
Namun, semua ini kini beroperasi dalam kerangka konstitusional modern: demokrasi, supremasi hukum, akuntabilitas, dan partisipasi publik.
Refleksi lima abad Ponorogo tidak dapat dilepaskan dari pertanyaan besar: bagaimana menjaga kesinambungan identitas lokal dalam sistem negara nasional? Dalam konteks ini, Ponorogo bisa menjadi contoh model daerah yang mampu merajut kontinuitas dan transformasi.
Ia tetap mempertahankan kekhasan budayanya—seperti Reyog Ponorogo—sembari beradaptasi dengan tuntutan negara hukum modern.
Tantangan ke depan adalah bagaimana Ponorogo memaknai lima abad eksistensinya sebagai peluang untuk memperkuat kapasitas pemerintahan daerah dalam kerangka ketatanegaraan yang demokratis dan berkeadilan.
Pemerintah daerah tidak cukup hanya mengandalkan warisan sejarah dan budaya, tetapi perlu mengintegrasikannya dengan inovasi kebijakan publik, partisipasi warga, serta tata kelola pemerintahan yang transparan dan adaptif.
Momen lima abad ini idealnya menjadi titik awal redefinisi peran daerah dalam pembangunan nasional: tidak semata-mata sebagai pelaksana program pusat, tetapi juga sebagai inisiator solusi lokal atas problem nasional.
Dalam semangat ini, Ponorogo harus tampil sebagai kabupaten yang kuat secara kelembagaan, matang dalam politik lokal, dan kaya dalam kearifan sosial.
Lima abad Ponorogo bukan sekadar peringatan usia administratif. Ini adalah penanda penting dalam dinamika hubungan antara negara dan daerah, antara budaya dan konstitusi, antara identitas dan perubahan.
Dalam perspektif ketatanegaraan, Ponorogo telah melewati berbagai fase sistem pemerintahan — dari kadipaten tradisional, wilayah kolonial, hingga kabupaten otonom dalam NKRI.
Kini, saatnya Ponorogo menatap masa depan dengan memperkuat posisi strategisnya sebagai daerah yang melek sejarah, melek konstitusi, dan melek arah pembangunan nasional. (***)