Oleh : Jamal Mustofa (Ketua LWP MWC NU Jenangan periode 2019-2024)
Pernyataan Menteri Keuangan, Sri Mulyani, yang menempatkan ekonomi syariah sebagai alternatif dari kapitalisme dan komunisme, patut diapresiasi. Dalam konteks Indonesia, yang mayoritas penduduknya beragama Islam, ekonomi syariah bukan hanya soal “bebas bunga” atau “produk halal”, tetapi tentang keadilan sosial, distribusi kekayaan, dan pembangunan berkelanjutan.
Salah satu aspek yang paling krusial dalam visi ekonomi syariah adalah integrasi instrumen sosial Islam—zakat, infak, sedekah, dan wakaf—ke dalam sistem ekonomi formal dan kebijakan fiskal negara. Zakat dan wakaf, bila dikelola secara resmi dan dilegalkan sebagai bagian dari kebijakan fiskal, memiliki potensi luar biasa: sebagai sumber pembiayaan publik berkelanjutan, sekaligus alat redistribusi kekayaan yang efektif. Dana zakat yang dikumpulkan secara sistematis dapat dimanfaatkan untuk pengentasan kemiskinan, pemberdayaan UMKM, pendidikan, dan layanan kesehatan. Wakaf produktif, bila dioptimalkan, bisa menjadi modal abadi bagi pembangunan infrastruktur publik dan proyek sosial, mirip dengan sovereign wealth fund, namun berbasis nilai spiritual dan sosial.
Praktik di negara lain menunjukkan bahwa konsep ini bukan sekadar teori. Di Malaysia, zakat dikumpulkan secara resmi melalui lembaga negara dan disalurkan tidak hanya untuk bantuan sosial tetapi juga untuk modal usaha mikro. Wakaf produktif di beberapa negara bagian digunakan untuk membiayai sekolah, klinik, dan fasilitas umum. Pakistan memiliki sistem zakat wajib yang dikelola pemerintah, meskipun integrasi wakaf masih terbatas. Di Timur Tengah, Saudi Arabia dan Uni Emirat Arab mengembangkan wakaf produktif yang mendukung pendidikan dan layanan sosial, sekaligus menciptakan dana abadi untuk pembangunan.
Indonesia memiliki potensi untuk menjadi prototipe global ekonomi syariah. Dengan mayoritas penduduk muslim, infrastruktur perbankan syariah yang mapan, serta potensi zakat dan wakaf yang sangat besar, negara ini dapat membuktikan bahwa prinsip-prinsip syariah dapat diterapkan untuk menciptakan kesejahteraan sosial yang nyata. Integrasi zakat dan wakaf ke dalam kebijakan fiskal akan memperkuat APBN, menyediakan sumber pembiayaan non-utang, dan menegaskan tanggung jawab moral dalam distribusi kekayaan.
Namun, implementasi ekonomi syariah dengan instrumen sosial sebagai pilar fiskal membutuhkan kehati-hatian. Tantangan yang perlu diperhatikan meliputi: literasi masyarakat yang masih rendah terkait instrumen sosial, harmonisasi regulasi antara lembaga zakat/wakaf dengan kementerian keuangan, serta risiko sekadar kosmetik apabila pengelolaan zakat dan wakaf tidak benar-benar terintegrasi dalam kebijakan fiskal.
Dengan visi yang jelas dan komitmen politik yang kuat, ekonomi syariah Indonesia bisa menjadi model yang unik dan berkelanjutan. Ia bukan hanya memberikan alternatif sistem ekonomi, tetapi juga memastikan bahwa pembangunan nasional berjalan dengan prinsip keadilan sosial, pemberdayaan masyarakat, dan keberlanjutan moral dan finansial. Integrasi zakat dan wakaf sebagai instrumen fiskal adalah langkah strategis untuk menegaskan bahwa nilai-nilai sosial Islam dapat menjadi pilar pembangunan negara, bukan hanya sekadar instrumen keuangan atau produk perbankan.
Wallohu a’lam