AswajaNews – Siapa sangka, di balik hijaunya lereng Gunung Wilis, tersimpan kisah inspiratif tentang transformasi semak belukar menjadi destinasi wisata yang kini jadi primadona Kabupaten Madiun.
Watu Rumpuk, yang dulunya hanyalah kebun cengkeh mati karena virus, kini menjelma menjadi kawasan wisata alam yang memadukan pesona lanskap pegunungan dengan semangat gotong royong warga desa.
Berada di Desa Mendak, Kecamatan Dagangan, Kabupaten Madiun, Watu Rumpuk tak hanya menawarkan keindahan alam. Ia hadir sebagai simbol kebangkitan sebuah desa. Dahulu, wilayah ini merupakan areal perkebunan cengkeh milik warga yang hancur akibat serangan penyakit tanaman. Dampaknya, perekonomian masyarakat sempat terpuruk.
Namun, bukannya menyerah pada keadaan, warga Desa Mendak justru menemukan titik balik melalui ide kreatif dan kerja bersama. Alih-alih terus bergantung pada sektor pertanian yang saat itu lesu, mereka mencoba menanam komoditas baru seperti manggis dan durian. Seiring waktu, tumbuh pula gagasan untuk menjadikan area ini sebagai destinasi wisata berbasis alam dan budaya lokal. Dari sinilah cikal bakal Watu Rumpuk lahir.
Kini, Watu Rumpuk berdiri di atas lahan seluas 12,8 hektar, menyuguhkan beragam jenis wisata yang menyatu dalam satu kawasan. Tidak hanya menawarkan panorama alam yang memesona, seperti hamparan pepohonan hijau, langit biru, dan udara sejuk khas pegunungan, Watu Rumpuk juga dilengkapi dengan berbagai wahana dan spot kekinian.
Taman-taman bunga tertata rapi dengan aneka bentuk seperti hati dan pusaran, menjadi latar favorit pengunjung untuk berswafoto. Di beberapa sudut, terdapat ornamen kreatif seperti cangkir raksasa, bambu berbentuk spiral, hingga ikon tulisan “Watu Rumpuk” yang berdiri megah di tengah taman. Keindahan ini diperkuat oleh latar pegunungan hijau di kejauhan yang memanjakan mata setiap pengunjung.
Lebih dari sekadar spot foto, Watu Rumpuk menyimpan banyak cerita. Di sisi timur kawasan, dibangun sebuah area bernama Kampung Tempo Doeloe. Kawasan ini sengaja dibuat untuk mengenang sejarah Desa Mendak. Di sini, pengunjung dapat merasakan nuansa kehidupan masa lalu melalui bangunan tradisional yang berdinding bambu dan beratapkan ilalang. Kampung ini menjadi semacam museum hidup yang memperlihatkan bagaimana warga desa hidup puluhan tahun lalu.
Tak jauh dari situ, terdapat Gunung Tapak Bimo, salah satu titik favorit pendakian ringan bagi wisatawan. Nama Tapak Bimo berasal dari adanya jejak berbentuk telapak kaki raksasa yang dipercaya sebagai peninggalan tokoh pewayangan, Bimo. Ukuran telapak ini sangat besar, mencapai panjang 16 meter dan lebar 8 meter, menjadikannya sebagai daya tarik tersendiri yang memicu rasa penasaran.
Petualangan berlanjut ke Goa Jepang, terowongan peninggalan masa pendudukan Jepang yang terletak di puncak Tapak Bimo. Goa ini konon digunakan sebagai jalur rahasia dan tempat persembunyian. Di dalamnya terdapat sebuah bungker yang dulu digunakan oleh tentara Jepang sebagai perlindungan. Keberadaan situs sejarah ini memperkaya pengalaman wisatawan, menjadikan Watu Rumpuk tak sekadar tempat wisata alam, tetapi juga ruang belajar sejarah.
Menariknya, kawasan ini juga menjadi lokasi beragam event tahunan. Mulai dari camp accoustic yang digelar setiap bulan April, hingga gathering mahasiswa pecinta alam (Mapala) yang rutin diadakan pada bulan Juni. Watu Rumpuk menjadi ruang ekspresi komunitas sekaligus pusat kegiatan sosial budaya. Tidak ketinggalan, ada pula taman edukasi seperti taman cokelat dan taman buah yang cocok sebagai sarana pembelajaran luar ruang, terutama bagi anak-anak.
Meski akses jalan menuju lokasi masih relatif sempit dan menanjak, antusiasme pengunjung tidak surut. Dengan harga tiket masuk hanya Rp10.000 dan jam operasional mulai pukul 07.00 hingga 17.00 WIB setiap hari, Watu Rumpuk menjadi destinasi yang ramah di kantong namun kaya akan pengalaman.
Bagi siapa pun yang ingin mencari ketenangan, belajar sejarah, sekaligus menikmati keindahan alam, Watu Rumpuk adalah destinasi yang layak untuk dikunjungi.*** (Fauza)