Oleh: M. Dawud, M.Sos (Sekjend PW ISNU Jatim dan Pengajar Komunikasi dan Penyiaran UIN KHAS Jember)
Sejak semalam, lini masa media sosial saya ramai dengan tagar #BoikotTrans7. Hampir semua grup WA saya yang terpaut dengan para aktivis NU, menyerukan agar Trans7 dilaporkan dan diboikot.
Penyebabnya adalah tayangan salah satu program yang dinilai melecehkan Mbah Yai War (Romo KH. Anwar Manshur), pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo Kediri sekaligus Rais Syuriah PWNU Jawa Timur.
Bagi kami, persoalan ini bukan sekadar kesalahan tayangan atau kekeliruan redaksi. Pesantren Lirboyo adalah simbol keilmuan dan kehormatan Islam Ahlussunnah wal Jamaah. Dari pesantren ini lahir banyak tokoh besar. seperti KH. Maimoen Zubair, KH. Said Aqil Siradj, KH. Musthofa Bisri (Gus Mus), Gus Muwafiq dan banyak lagi.
Karena itu, ketika pesantren dan para kiai kami digambarkan secara tidak pantas di ruang publik nasional, wajar kami marah. Bagi kami yang selalu ngalap berkah poro Kyai, Kyai bukan hanya sosok guru, tetapi penjaga nilai dan teladan moral. Maka ketika kehormatan itu dilukai, reaksi yang muncul bersumber dari cinta dan rasa hormat, bukan dari kebencian.
Media tidak hanya berfungsi sebagai penyampai informasi, tetapi juga membentuk cara pandang publik terhadap realitas sosial. Inilah yang disebut teori konstruksi sosial atas realoitas.
Ketika tayangan televisi menggambarkan pesantren dengan nada merendahkan atau menstigma, penonton yang tidak akrab dengan dunia pesantren bisa membentuk persepsi keliru: bahwa pesantren adalah lembaga yang tertinggal, kolot, atau tidak relevan dengan zaman. Padahal, sejarah membuktikan bahwa pesantren justru menjadi benteng moral dan intelektual bangsa, melahirkan tokoh-tokoh yang berperan besar dalam perjuangan dan pembangunan negeri.
Melalui teori Agenda Setting yang digagas McCombs dan Shaw kita juga memahami bahwa media berperan penting menentukan isu yang dianggap penting oleh masyarakat. Jika berulang kali tayangan televisi dalam satu kelompok media—seperti Trans7 dan Trans TV—menyoroti amaliyah keagamaan dengan nada curiga, maka publik akan diarahkan untk melihat praktik keagamaan tersebut sebagai hal yang salah. Dengan kata lain, media tidak sepenuhnya netral. Ia mengarahkan perhatian, membentuk opini, dan kadang tanpa sadar menggeser makna.
Media massa juga memiliki tanggung jawab sosial. Oleh karena itu, media juga harus bekerja untuk kepentingan publik. Media boleh bersikap kritis, tetapi tidak boleh menyebarkan kebencian, menyinggung keyakinan, atau merendahkan kelompok sosial tertentu.
Prinsip ini selaras dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Pasal 36 ayat (6) menyatakan bahwa isi siaran dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan, dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama serta martabat manusia Indonesia.
Pelanggaran terhadap pasal ini termasuk tindak pidana, sebagaimana tercantum dalam Pasal 57, dengan ancaman penjara hingga lima tahun dan denda maksimal Rp10 miliar. Maka, kasus seperti ini tidak bisa dianggap selesai dengan sekadar permintaan maaf atau revisi tayangan. Bila unsur pidana terpenuhi, penegakan hukum perlu ditempuh agar menjadi pelajaran dan efek jera bagi lembaga penyiaran lainnya.
Perlu diingat, media penyiaran tidak beroperasi di ruang kosong. Ia menggunakan frekuensi publik, yg secara hukum adlah milik negara dan rakyat. Karena itu, penggunaannya harus disertai tanggung jawab moral dan sosial yang tinggi, bukan semata kepentingan komersial. Permintaan maaf dari pihak Trans7 patut diapresiasi sebagai langkah awal, namun tidak boleh berhenti di sana.
Kasus serupa pernah muncul sebelumnya—mulai dari tayangan Khazanah Trans7 yang menyoal amaliyah Nisfu Sya‘ban, hingga program Berita Islam Masa Kini di Trans TV yang menilai pembacaan Al-Fatihah untuk orang meninggal sebagai bid‘ah.
Pola berulang ini menunjukkan adanya masalah sistemik dalam pengawasan isi siaran. KPI dan lembaga berwenang lainnya perlu meninjau apakah standar etika dan mekanisme kontrol internal telah dijalankan dengan benar. Masyarakat berhak menuntut kejelasan, konsistensi, dan ketegasan dalam penegakan etika media, karena kepercayaan publik terhadap lembaga penyiaran sangat bergantung pada integritas dan tanggung jawab sosialnya.
Media penyiaran bukan hanya bisnis yang mencari rating dan keuntungan, tetapi juga lembaga sosial yang mengemban amanah publik. Frekuensi siaran bukan milik pemodal, bukan milik orang kaya, bukan pula milik petinggi partai, melainkan kepercayaan negara kepada media untk mengelola ruang publik dengan etika, empati, dan tanggung jawab.
Ketika media menggunakan ruang publik itu untuk menyiarkan narasi yang menyingung agama, merendahkan ulama, atau menstigma pesantren, masyarakat wajar merasa tersakiti. Namun kemarahan itu, jika disertai dengan kesadaran hukum dan literasi media, justru menjadi bentuk partisipasi sosial untuk memperbaiki ekosistem penyiaran nasional.
Dalam dunia komunikasi, kata-kata adalah tindakan. Ia dapat menjadi cahaya yang mencerahkan, atau api yang membakar. Karena itu, tanggung jawab terbesar media bukanlah mengejar sensasi, tetapi menjaga kejujuran, empati, dan kehormatan manusia.