Diplomasi Indonesia-AS: Dari Tarif 19 Persen hingga Ancaman Kedaulatan Data

Oleh: Suad Fikriawan*

*Penulis adalah Anggota Dewan Ahli PC ISNU Ponorogo dan pemerhati Kebijakan Ekonomi Digital

Hubungan Indonesia dan Amerika Serikat kembali menghadapi dinamika yang menantang. Kali ini bukan hanya soal geopolitik atau perimbangan kekuatan di kawasan Indo-Pasifik, tetapi menyentuh dua aspek strategis sekaligus: ekonomi dan kedaulatan digital.

Diawali pada bulan April 2025 saat Presiden Donald Trump Mengumumkan kebijakan tarif minimum 10 persen terhadap semua produk dari negara manapun, Pemerintah Amerika Serikat baru-baru ini memberlakukan tarif resiprokal atas produk ekspor hingga 19 persen terhadap sejumlah produk ekspor Indonesia.

Produk-produk seperti hasil pertanian, tekstil, hingga komponen elektronik menjadi sasaran kebijakan dagang yang secara langsung merugikan pelaku usaha nasional.

Ironisnya, di tengah tekanan tarif tersebut, Indonesia justru menghadapi gelombang penetrasi perusahaan teknologi asal AS yang membawa serta agenda-agenda digital mereka, termasuk akses terhadap data pribadi warga negara.

Tarif tinggi terhadap produk Indonesia bukan sekadar instrumen ekonomi; ia adalah ekspresi politik luar negeri AS yang mendorong kepentingannya melalui tekanan ekonomi. Sementara itu, permintaan terhadap “interoperabilitas data”, “standar global”, atau “kemitraan digital” yang sering dikampanyekan dalam forum-forum multilateral sejatinya berpotensi mengikis kedaulatan negara-negara berkembang atas data warganya. Meskipun sejatinya dalam Undang-Undangn Perlindungan Data Pribadi hal itu diizinkan asalkan ada kesetaraa regulasi antara kedua negara.

Data pribadi kini menjadi komoditas baru. Layaknya minyak di abad ke-20, data adalah kekuatan geopolitik abad ke-21. Kontrol atas data berarti kekuatan atas perilaku, preferensi, bahkan arah kebijakan publik suatu negara. Karena itu, membuka akses data tanpa instrumen pengawasan dan kedaulatan digital yang kokoh bukanlah bentuk kerja sama, tetapi bentuk ketundukan.

Menurut penulis, Indonesia perlu memosisikan diri secara lebih tegas. UU Perlindungan Data Pribadi yang telah disahkan semestinya menjadi landasan pijak untuk menetapkan batas tegas dalam kerja sama digital. Sayangnya, keberadaan regulasi saja tidak cukup tanpa dukungan diplomasi yang berani dan cerdas.

Diplomasi digital Indonesia harus dibangun dengan keberanian untuk menolak skema kerja sama yang timpang serta keberpihakan yang jelas terhadap kepentingan nasional, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Tarif dagang 19 persen sudah berpotensi terhadap defisit perdagangan RI dengan Amerika, ditambah tekanan terhadap arus data Indonesia tentu ini menunjukkan bahwa relasi Indonesia-AS sarat dengan ketimpangan. Dalam situasi seperti ini, kita membutuhkan diplomasi yang tidak hanya berpikir dalam kerangka “akses pasar”, tetapi juga “penguasaan masa depan”.

Masa depan itu tidak hanya ditentukan oleh produk yang kita ekspor, tetapi juga oleh data yang kita izinkan untuk diakses. Jika kita tidak hati-hati, Indonesia bisa menjadi pengekspor data mentah, sekaligus pembayar royalti atas produk digital yang diolah dari data rakyatnya sendiri.

Sudah waktunya Indonesia menggagas peta jalan diplomasi digital yang berdaulat, setara, dan berpihak pada rakyatnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *