AswajaNews – Di tengah gemuruh zaman modern dan perkembangan dunia digital yang semakin cepat, Desa Cekok, Kecamatan Babadan, Kabupaten Ponorogo justru menguatkan identitas kultural-religiusnya sebagai ‘Kampung Hadroh dan Sholawat’. Hampir setiap hari, sore dan malam hari tradisi memukul rebana dan melantunkan pujian kepada Rasulullah SAW menggema hampir di seluruh penjuru desa ini—mulai dari Dukuh Krajan, Jambean, hingga Sidomulyo.

Hampir setiap masjid dan musholla di ketiga dukuh tersebut memiliki satu atau lebih grup hadroh. Bahkan, di Masjid Al-Barokah di Dusun Krajan Cekok, tercatat ada 3 hingga 4 grup hadroh aktif yang berasal dari kalangan anak-anak, remaja, ibu-ibu muda, hingga para bapak-bapak. Pemandangan latihan rutin di serambi masjid atau halaman musholla menjadi hal yang lazim dan menghidupkan suasana spiritual dan kekompakan warga.
Lomba Hadroh Jadi Ajang Silaturahmi dan Kreativitas
Sejak tahun 2024, Pemerintah Desa Cekok menginisiasi Lomba Hadroh Tahunan sebagai bentuk apresiasi terhadap geliat hadroh di masyarakat. Tahun ini, ajang tersebut kembali digelar dan akan dilangsungkan besok, 9 Agustus 2025, bertempat di halaman kantor Desa Cekok.

Puluhan grup dari berbagai kalangan telah mendaftar. Selain untuk mempererat ukhuwah antar warga, lomba ini juga menghadirkan berbagai hadiah menarik dan kejutan dari panitia.
“Kegiatan ini bukan hanya lomba semata, tapi bentuk kecintaan warga kami pada sholawat dan semangat gotong royong,” ujar Kepala Desa Cekok, Diana Sukawati, saat diwawancarai usai gladi teknis lomba.
Ia menambahkan bahwa animo warga semakin tinggi dari tahun ke tahun. Tak hanya peserta yang bertambah, tapi juga kualitas penampilan yang kian kreatif dan penuh semangat.
“Saya terharu melihat bagaimana anak-anak kecil hingga orang tua bisa kompak berlatih. Ini bukti bahwa sholawat sudah menjadi denyut kehidupan masyarakat Cekok,” tambahnya.
Dari Musholla ke Pentas: Budaya Lokal yang Menginspirasi
Menurut penuturan tokoh masyarakat setempat, budaya hadroh dan sholawat di Desa Cekok sudah tumbuh sudah lama, bahkan grup hadroh “Santri Mbeling” yang notabenenya adalah salah satu grup hadroh fenomenal pada masanya, juga digawangi oleh para pemuda Desa Cekok.

Di dukuh Sidomulyo misalnya, terdapat juga kesenian unto-untonan “Nur Limei” yang juga cukup fenomenal dan sering melanglangbuana ke berbagai desa dan kecamatan untuk tampil dalam berbagai undangan seperti sunatan, sedekah bumi, grebeg suronan dan acara lain atau hanya sekedar untuk menghibur warga.
Sejarah tersebut menjadi akar kultural kesenian hadroh yang ada di Desa Cekok, sehingga dalam beberapa tahun terakhir sejarah tersebut menjadi basis mulai menggeliatnya kembali tradisi hadroh, rebana dan sholawatan di Desa Cekok yang kembali menunjukkan gairah dan peningkatan yang sangat pesat.
Ketersediaan rebana, seragam, hingga pelatihan dasar vokal dan irama kini sudah menjadi hal lumrah di tiap pedukuhan Desa Cekok.
“Kalau dulu anak-anak main bola atau game, sekarang banyak yang memilih latihan hadroh, baik banjari maupun habsyi di musholla, dan bahkan bapak bapak juga yang dulunya sering cangkruk di warung sekarang semangatnya untuk berlatih hadroh dan kompang klasik luar biasa. Bahkan baru-baru ini bapak bapak juga tidak mau ketinggalan untuk latihan hadroh dan membeli langsung satu set alat hadroh klasik di pusat alat kompang Pondok Njalen,” ujar salah satu pembina grup hadroh Remaja Masjid Al-Barokah dan Masjid Al-Mukib Cekok.
Warga berharap kegiatan positif ini bisa terus didukung oleh pemerintah, baik di tingkat desa maupun kabupaten. Apalagi dengan semangat syiar Islam yang damai dan menggembirakan, hadroh bisa menjadi sarana pendidikan karakter yang efektif bagi generasi muda.*** (EMHA)