AswajaNews – Jejak sejarah panjang industri gula di Jawa kini hadir dalam wajah baru yang lebih segar dan modern melalui kawasan wisata De Tjolomadoe. Menempati bekas bangunan Pabrik Gula Colomadu yang dulu berjaya, tempat ini menjelma menjadi salah satu destinasi wisata edukasi dan budaya paling populer di wilayah Solo Raya.
Meski telah bertransformasi menjadi ruang publik modern, De Tjolomadoe tetap mempertahankan keaslian arsitektur pabriknya, termasuk cerobong asap legendaris yang menjadi ikon visualnya. Bangunan bersejarah ini kini tak hanya menjadi tempat mengenang masa lalu kejayaan industri gula, tetapi juga menjadi ruang kreatif yang hidup dengan berbagai aktivitas kontemporer.
Berlokasi di Jalan Adi Sucipto No. 1, Malangjiwan, Kec. Colomadu, Kab. Karanganyar, De Tjolomadoe dapat diakses dengan mudah dari pusat Kota Solo. Kawasan ini dulunya adalah pusat pengolahan tebu menjadi gula yang dibangun oleh Mangkunegara IV pada 8 Desember 1861 dan mulai beroperasi dua tahun kemudian, pada 1863.
Pabrik Gula Colomadu adalah pabrik gula pertama di Jawa yang didirikan oleh kalangan pribumi. Nama Colomadu sendiri berasal dari gabungan kata “Colo” yang berarti gunung dan “Madu” yang berarti manis atau madu, menggambarkan harapan agar pabrik ini menjadi ‘gunung madu’ atau sumber kesejahteraan bagi rakyat.
Namun seiring waktu, aktivitas produksi di pabrik ini mulai surut dan akhirnya berhenti total pada 1998. Setelah hampir dua dekade dibiarkan terbengkalai, pada 8 April 2017 kompleks pabrik ini mulai direvitalisasi oleh pemerintah dengan pendekatan pelestarian sejarah.
Alih fungsi bangunan dilakukan dengan sangat hati-hati untuk tetap menjaga nilai historis dan kulturalnya. Hasilnya, De Tjolomadoe kini berdiri sebagai kawasan multifungsi yang memadukan museum, pusat kebudayaan, ruang konser, area pameran, dan zona komersial seperti kafe serta toko oleh-oleh.
Salah satu daya tarik utama dari De Tjolomadoe adalah museum yang menyimpan dokumentasi lengkap sejarah industri gula di Jawa. Dengan membayar tiket masuk sebesar Rp35.000 per orang, pengunjung dapat menjelajahi ruangan-ruangan tua yang dahulu dipenuhi deru mesin pengolah tebu.
Di dalam museum, pengunjung disuguhi alat-alat produksi gula, narasi sejarah, serta tampilan multimedia yang menjelaskan proses pengolahan tebu dari masa ke masa. Museum ini buka setiap hari Selasa hingga Minggu, mulai pukul 10.00 hingga 17.00 WIB, sementara pada hari Senin tutup.
Selain ruang edukasi, kawasan De Tjolomadoe juga menjadi ruang interaksi sosial dan hiburan. Area luar museum sering digunakan untuk kegiatan santai seperti jogging, bersepeda, hingga senam bersama yang digelar komunitas-komunitas lokal.
Tersedia pula area bermain dengan wahana skuter yang bisa disewa, seperti Scooter Otoped dan Harley Otoped. Tarif sewanya pun bervariasi, mulai dari Rp25.000 hingga Rp65.000 tergantung durasi dan jenis kendaraan yang dipilih.
Lebih dari itu, De Tjolomadoe telah berkembang menjadi pusat kebudayaan baru yang sering dijadikan venue konser musik, konferensi, hingga pameran seni. Ruang-ruang dalam bangunan tua itu disulap menjadi panggung bagi pertunjukan modern yang tetap kental dengan nuansa sejarah.
Dengan atmosfer bangunan klasik berpadu pencahayaan dan desain kontemporer, De Tjolomadoe juga menjadi spot favorit untuk swafoto. Tak sedikit pasangan pengantin menjadikan lokasi ini sebagai latar sesi prewedding karena nuansa estetikanya yang kuat.
Kiprah De Tjolomadoe sebagai destinasi wisata juga tercatat dalam berbagai penghargaan, termasuk rekor MURI saat kawasan ini berhasil membangun replika pabrik gula menggunakan lebih dari 17 ribu kue timus. Keberhasilan ini menunjukkan bagaimana ruang sejarah bisa diolah menjadi media kreatif yang membangkitkan semangat warga dan menarik minat wisatawan.
Bagi siapa saja yang sedang berada di Solo dan sekitarnya, berkunjung ke De Tjolomadoe bukan hanya tentang menikmati bangunan tua, tetapi juga memahami perjalanan panjang industri dan budaya bangsa.*** (Fauza)