Refleksi Hari Kebangkitan Nasional: Pentingnya Mencintai Persatuan, Keragaman dan Tanah Air

AswajaNews – Setiap tahunnya, kalender Indonesia menandai tanggal 20 Mei sebagai hari bersejarah, yang kemudian dikenal dengan Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas). Hal ini sebagai amanat dari Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 1959 pada 16 Desember 1959. Penetapan tanggal 20 Mei dinisbatkan pada berdirinya organisasi kaum intelektual Indonesia bernama Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908 di Jakarta. Organisasi ini didirikan oleh para kaum cendikiawan muda Indonesia, dan di antara inisiator gerakan tersebut ialah dr. Wahidin Sudirohusodo, dr. Soetomo, dr. Soeradji hingga dr. Gunawan Mangunkusumo.

Mereka adalah para pelajar di Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputera atau dengan nama lain School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA) bentukan pemerintah Kolonial Belanda. Keempat tokoh tersebut memiliki visi kebangsaan yang sama, di mana perjuangan kemerdekaan bumi nusantara tidak harus lewat jalan kekuatan fisik saja, melainkan mengikuti perkembangan jaman melalui jalan yang lebih modern (demokrasi). Salah satunya memfungsikan organisasi sebagai wadah menyalurkan aspirasi.

Perjuangan kemerdekaan bagi mereka tidak lagi bersifat kedaerahan, melainkan harus naik dalam scope nasional. Seluruh wilayah nusantara memiliki kepentingan yang sama, yaitu merdeka dari kolonialis yang telah 300 tahun menguasai mereka. Kesamaan visi kebangsaan ini menjadi kekuatan pengikat yang kemudian ditindaklanjuti 20 tahun kemudian pada tanggal 28 Oktober 1928 dengan diucapkannya Sumpah Pemuda seluruh nusantara.

Kesadaran kolektif kaum cendikiawan sejatinya adalah sumber kekuatan besar bagi suatu kaum untuk membangkitkan ghirah perjuangan, kesadaran akan jati diri dan tentu menyadari betapa pentingnya harga diri sebuah bangsa untuk berdaulat. Kekuatan fisik tidak harus dilawan dengan fisik, melainkan harus didorong juga dengan kekuatan intelektual untuk menjadi sadar akan nasionalisme dari setiap warga bangsa.

Perjuangan melalui organisasi dan demokrasi modern memerlukan waktu lama untuk mengarusutamakan sebuah kemerdekaan. Butuh proses panjang menyadarkan bangsa secara kolektif akan pentingnya semangat nasionalisme. Terbukti, selang 37 tahun kemudian (17 Agustus 1945) Indonesia merdeka berkat perjuangan senjata dan perjuangan intelektual para pemudanya.

Sebelum Indonesia merdeka, selain Budi Oetomo, banyak organisasi lain yang juga berdiri, di antaranya Indiche Partij (1912), Muhammadiyah (1912), Perhimpoenan Indonesia (1925) hingga Nahdlatul Oelama (1926). Kekuatan kaum intelektual ini mampu menggerakkan dan mempengaruhi pandangan dunia akan pentingnya arti kemerdekaan di seluruh dunia. Juga kesadaran akan pentingnya kebersamaan dalam memaknai arti kemerdekaan.

Meminjam pandangan Descartes mengenai kesadaran atau counciousness, kesadaran merupakan kondisi di mana seseorang mampu mempertanyakan dirinya sendiri, mengkritik dirinya sendiri sehingga mengetahui bahwa dirinya sedang mengalami hal tertentu. Lebih jauh ia mengatakan bahwa sadar adalah ragu-ragu dan bersikap kritis atas apa yang sedang dialami. Sebaliknya, jika tidak sadar atau “uncouncious”, hal ini merupakan keadaan di mana manusia tidak mampu mempertanyakan keadaan dirinya sendiri, tidak tahu apa yang sedang dialami dan tidak tahu akan melakukan apa terhadap dirinya sendiri.

Menyadari pentingnya kemerdekaan berarti menyadari bagaimana nasionalisme itu sangat penting. Generasi tanpa nasionalisme seperti generasi robot tanpa kesadaran dan spiritualitas. Robot tidak memiliki rasa nasionalisme sejati, melainkan hanya onggokan sistem mekanis tanpa impian.

Kebangkitan Nasional tidak saja dimaknai sebagai kebangkitan kualitas SDM Indonesia saat ini, melainkan harus didasari pada kesadaran akan pentingnya “nasionalisme sejati” yang cinta tanah air dengan segala hal keanekaragaman di dalamnya. Bukan malah merusak keragaman yang ada di Nusantara dengan dalih sosial, politik dan agama. Jangan sampai menjadi kolonialisme gaya baru di negeri yang indah ini.

Sekarang ini penjajahan tidak berbentuk kolonialisasi, tetapi sistem globalisasi dan kapitalis liberal yang mana satu dengan lainnya saling menjatuhkan dengan segala cara untuk menguasai sumber daya yang ada. Agama dan Negara dijadikan alat propaganda proxy war yang sebenarnya sama saja dengan kolonialisasi. Dan media sosial menjadi alat utama propaganda ini meski tanpa disadari.

Kebangkitan Nasional tahun ini harus menjadi tonggak kesadaran sejati akan pentingnya mencintai persatuan, keragaman serta tanah air warisan leluhur. Juga kebangkitan nasional tahun ini harus menjadi sarana menaikkan rasa betapa luhurnya nilai-nilai toleransi dan saling mengasihi antar sesama bangsa tanpa kecuali. Tidak lagi membeda-bedakan kasta, nasab keturunan serta RAS, mengingat keindahan Indonesia terlihat dari harmonisasi keberagaman. Semangat nasionalisme menjadikan Indonesia khususnya dan Nusantara umumnya menjadi melting pot keberagaman dengan harmonisasi tinggi sebagai wujud nyata dari majunya tingkat “peradaban” manusia di dunia ini.*** (Agus Setyawan)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *