Sejarah dan Makna Mbarak (Silaturahim Keliling) yang Tak Pernah Ditinggalkan oleh Generasi Penerus

AswajaNews – Selain tradisi sungkeman dan Hahal bi Halal, tradisi mbarak atau silaturahim keliling ketika hari raya Idul Fitri merupakan salah satu dari beberapa tradisi di Nusantara yang tak pernah lekang oleh waktu. Mbarak saat lebaran merupakan sebuah tradisi yang dilakukan oleh umat muslim, khususnya di Jawa Timur pada hari raya Idul Fitri dan dilaksanakan setelah sholat Ied dan sungkeman pada orang tua.

Tradisi ini pada dasarnya sama dengan silaturahim pada umumnya, namun terdapat perbedaan dalam pelaksanaan. Perbedaan tradisi mbarak dengan Halal bi Halal misalnya, terletak pada pelaksaannya, di mana dalam Halal bi Halal biasanya dilakukan acara tertentu seperti sambutan dan sebagainya. Dan tamu yang diundang memiliki kesamaan tertentu, seperti satu keluarga besar, satu perusahaan, satu komunitas, dan sebagainya.

Sedangakan dalam mbarak, silaturahim dilakukan secara berkelompok atau bergerombol ke rumah-rumah sekitar yang menerima tamu. Tradisi ini bertujuan untuk meningkatkan dan mempererat rasa persaudaraan umat Islam atau ukhuwah islamiyah di lingkungan keluarga dan tetangga dalam satu lingkungan masyarakat.

Di luar konteks Idul Fitri, silaturahim juga sangat penting kerena menjaga ukhuwah adalah sebuah kewajiban bagi umat muslim. Tradisi ini juga sangat diminati oleh masyarakat, mengingat setiap tahunnya momen ini selalu dinanti-nanti dan menjadi salah satu ciri khas Lebaran.

Dari pelaksanaannya, tradisi silaturahim ini dilakukan pada hari pertama sampai hari ke tujuh bulan Syawal. Namun tidak sedikit juga masyarakat yang masih terus berkunjung ke sanak saudara meski sudah lebih dari tujuh hari. Waktu dalam melaksanakannya juga beragam, mulai pagi, siang, hingga malam hari, menyesuaikan dengan keadaan.

Sejarah Tradisi Silaturahim Keliling atau Mbarak

Tradisi silaturahim Lebaran ini memiliki asal mula dari Kerajaan Surakarta, tepatnya pada era Mangkunegoro I tahun 1930-an. Pada masa tersebut tradisi sungkeman dilakukan oleh Pangeran Mangkunegoro I bersama para prajurit dan staff kerajaan.

Beliau biasa mengumpulkan seluruh prajurit, punggawa dan pengawalnya seusai melakukan salat Idul Fitri untuk berbaris dan sungkem pada keluarga kerajaan secara bergantian untuk bermaaf-maafan.

Selain itu, pada tahun 1948, terdapat sebuah usulan dari KH Abdul Wahab Hasbullah kepada Ir. Soekarno untuk mengadakan silaturahim pada Hari Raya Idul Fitri di tahun tersebut. Atas usulan itulah Ir. Soekarno mengadakan acara silaturahim di Istana Negara dengan mengundang sejumlah tokoh politik Indonesia, yang kemudian acara ini disebut dengan istilah “Halal bi Halal”.

Dari perkembangan Halal bi Halal tersebut, kemudian muncul tradisi silaturahim keliling atau biasa dikenal dengan mbarak yang berawal dari daerah Ponorogo, Jawa Timur. Tradisi mbarak ini kemudian menyebar ke berbagai daerah di Jawa, khususnya Jawa Timur dan mempunyai banyak nama di daerah yang berbeda.

Nilai-Nilai dalam Tradisi Silaturahim Keliling atau Mbarak

Dari segi nilai yang terkandung di dalamnya, silaurahim keliling ini memiliki banyak sekali makna jika digali secara lebih mendalam dan terperinci. Namun secara umum, nilai dari tradisi ini adalah sebagai berikut:

  1. Nilai Silaturahmi

Dengan menjalin silaturahim yang baik dengan masyarakat sekitar akan menciptakan lingkungan masyarakat damai dan tenteram. Sesuai namanya, nilai silaturahmi sendiri merupakan nilai utama tradisi ini yang mempunyai tujuan untuk mempererat silaturahmi sesama muslim dan juga sesama manusia.

  1. Nilai Sedekah

Nilai sedekah di sini dapat terlihat dari tradisi silaturahim keliling, bahwa biasanya pemilik rumah yang menerima tamu akan menyuguhkan makanan pada tamu-tamu yang datang. Sedekah sendiri memiliki manfaat yang sangat banyak, namun tidak dapat dirasakan secara langsung, salah satunya seperti dilipat gandakan pahalanya oleh Allah

  1. Nilai Integritas Sosial

Dengan adanya komunikasi yang baik antar masyarakat dalam proses silaturahmi akan menciptakan sebuah integritas sosial dalam masyarakat menjadi lebih kuat. Integritas dalam hal ini sangat diperlukan dalam keseharian agar tercipta masyarakat yang rukun dan memiliki rasa solidaritas yang tinggi.*** (Dani Saputra)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *