Rosadi Jamani
(Ketua Satupena Kalbar)
MPR menggelar sidang tahunan. Presiden Joko Widodo hadir. Sidang ini dihadiri seluruh anggota DPR dan DPD. Personel Kabinet Indonesia Maju juga hadir. Para kepala yudikatif ikut hadir. Berkumpulah seluruh pemegang kekuasaan tertinggi di negeri ini. Mereka berkumpul mendengarkan pidato Jokowi. Mendengarkan apa saja yang telah dicapai rezim. Apa juga yang belum direalisasikan. Di sidang inilah para wakil rakyat mendengarkan secara resmi progres pembangunan Indonesia. Dari sinilah, Jokowi akan dievaluasi secara resmi oleh wakil rakyat. Dievaluasi bukan untuk diberhentikan ya. Walaupun MPR punya kewenangan memecat presiden. Sidang ini bukan untuk itu, karena presiden masih menjalankan UUD45 dengan baik.
Seandainya yang megang palu MPR itu yang demo kemarin, dipastikan palu diketuk tiga kali, Presiden Jokowi dipecat. Untungnya, geng yang selalu teriak People Power itu bukan pemegang palu MPR. Hanya pemegang toa teriak di jalanan.
Bambang Soesatio alias Bangsut, pemegang sah palu MPR. Dalam pidatonya, politisi Golkar ini menyatakan, lembaganya sebagai pengawal Pancasila. Lembaganya juga sebagai rumah kebangsaan. Setuju bangat. Kalian setuju ndak?
MPR pengawal Pancasila, harus dong. Sebagai lembaga tertinggi negara, MPR sudah semestinya memastikan Pancasila bisa dipraktikkan dalam bernegara dan berbangsa. Seluruh personel ekskekutif, yudikatif, dan legislatif harus tunduk pada moral Pancasila. Kawal dan pastikan semua tunduk pada Pancasila.
Cuma, sebagai pengawal, harus menjadi teladan, bagaimana perilaku yang sesuai Pancasila atau tidak. Banyak rakyat antipati dengan Pancasila, karena tidak adanya teladan dari wakil rakyat. Istilahnya gini, rakya disuruh Pancasila, sementara yang nyuruh justru jadi pengkhianat Pancasila. “No…lihat mereka yang ditangkap KPK dan Jaksa. Mereka itukan suka teriak-teriak Pancasila. Nyatanya pengkhianat Pancasila.” Ungkapan seperti sering didengar di masyarakat. Keteladanan dalam ber-Pancasila yang masih kurang di negeri ini. Apabila semua lembaga pemerintah itu mengamalkan Pancasila, Indonesia tidak ada yang anti Tuhan, tidak ada perpecahan, tidak ada ketidakadilan, rakyat selalu mengedepankan musyawarah dan mufakat, dan pembangunan merata seluruh negeri. Fakta hari ini, justru maraknya paham komunis, liberal, lenisme, LGBT, dan sebagainya. Di mana Pancasila? Fakta hari ini, mudahnya sesama rakyat bertengkar di ruang publik, diteriaki kafir, bid’ah, bajingan, tolol, dsb. Semua narasi itu bukan menuju persatuan Indonesia, tapi perpecahan. Narasi itu bukan mencerminkan negara yang beradab. Di mana Pancasila?
Fakta hari ini juga, kedaulatan rakyat mestinya diutamakan, nyatanya hanya dikuasai segelintir orang saja. Bahasa kaum sebelah, Indonesia dikuasai oligarki. Pemodal lebih dimanjakan ketimbang rakyat kecil. Di mana Pancasila?
Fakta juga, soal keadilan sosial belum sepenuhnya dirasakan oleh masyarakat. Soal gaji, pengisian pejabat tak memperhatikan warga lokal, keterwakilan perempuan di lembaga strategis, penerimaan TNI/Polri didominasi etnis tertentu saja, warga lokal banyak jadi penonton di saat daerahnya diekploitasi, kekayaan daerah banyak dinikmati di Pulau Jawa, dsb. Banyak lagi soal keadilan yang sering disuarakan. Di mana Pancasila?
Di mana Pancasila? Ada di hati dan diamalkan oleh rakyat Indonesia. Simpel kan. Sebaliknya, ketika hati sudah tak percaya Tuhan, suka menghina, rakus, tamak, egois, suka tak adil, Pancasila sirna. Hanya untuk diucapkan, dipajang, tapi tak memberi pengaruh pada moral dan etika berperilaku. Saya yakin, bila Pancasila kbenar-benar diimplementasikan dalam bernegara dan berbangsa, Indonesia menjadi negara maju, tenteram, dan damai.