Menilik Karomah KH Abi Sudjak Muassis NU Sumenep

Aswaja News – KH Abi Sudjak adalah putra dari pasangan KH Djamaluddin dan Nyai Hj Siti Shalehah. Ia adalah salah satu merupakan muassis NU Sumenep setelah menerima amanat dari temannya KH Muhammad Ilyas Syarawi untuk menggantikan posisinya sebagai Rais Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Sumenep. Di balik kealimannya, ia memiliki karomah yang tidak bisa dijangkau oleh nalar manusia dan jarang diketahui khalayak luas. Salah satu bukti karomah yang dikenang oleh dzurriyah dan warga NU adalah Pondok Pesantren Asta Tinggi Banasokon, Desa Kebonagung, Kecamatan Kota, Sumenep yang ia asuh tidak bisa dimasuki oleh tentara loreng Belanda dan Jepang.

Secara geografis, pesantren tersebut berada di daerah perbukitan itu dijadikan tempat pelarian pribumi saat dizalimi oleh penjajah. Tak hanya itu, laskar Hizbullah dan Sabilillah berkumpul di sana guna mendapat latihan khusus dalam menggunakan senjata tajam dan senjata rampasan musuh yang notabenenya senapan api serta bahan peledak lainnya. Tak tanggung-tanggung, Kiai Abi Sudjak turun langsung mengijazahi para laskar yang ingin terjun ke medang perang.

Dituturkan oleh KHR Suharto Winata, cucu menantu Kiai Abi Sudjak atau suami dari Ny Hj Sri Kurnia binti Kiai Aziz Tarate, tanda-tanda kealimannya tampak saat menuntut ilmu di Pesantren Karay Ganding, Sumenep yang diasuh oleh Kiai Imam. Lumrah diketahui oleh alumni, Kiai Imam menulis nama Kiai Abi Sudjak di dinding pesantren menggunakan singkong yang dibakar hingga jadi arang. Tulisannya adalah “Abi Sudjak Wali.”

Selain itu, tanda kealiman Kiai Abi Sudjak tampak saat menjadi khadim Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan. Berdasarkan cerita yang masyhur, Kiai Abi Sudjak pergi menunaikan ibadah haji sambil menuntut ilmu di Makkah, tanpa bekal apapun. KHR Suharto Winata menceritakan, sebelum berangkat ke tanah suci, Mbah Kholil memberi izin kepada Kiai Abi Sudjak berangkat ke Makkah dihentikan. Namun membawa ongkos dan bekal sendiri.

Akhirnya Kiai Abi Sudjak turut menyertai Syaikhona Kholil ke Makkah. Kiai Abi Sudjak turut serta dengan alasan khawatir gurunya tidak ada yang menyiapkan segala keperluannya selama berada di tanah Hijaz. Itulah alasan Kiai Abi Sudjak memiliki gelar haji, karena menemani Syaikhona Kholil melaksanakan ibadah haji dan memperdalam ilmu agama. Gelar Syeikh yang tertera di maqbarahnya, merupakan pemberian dari Syeikh Malik yang sudah lama menetap di Makkah dan getol mentransfer keilmuan pada ulama-ulama Nusantara. Berikut pernyataan Syeikh Malik pada Mbah Kholil kala itu. “Wahai Kiai Kholil, khadimnya kamu adalah Syeikh.”

Di masa liburan pesantren, Kiai Abi Sudjak terbiasa pulang ke Sumenep dengan berjalan kaki. Hanya saja saat hendak kembali lagi ke Bangkalan, orang tuanya kebingungan lantara tidak ada bekal yang akan diberikan. Di pagi hari atau sebelum berangkat ke Bangkalan, ibunya memanggil santri untuk membersihkan lemari. Menurut pandangan batin, lemari itu banyak semutnya. Santri pun heran karena lemari itu bersih dan tak ada satupun semut. Berhubung santri harus takzim pada guru, mereka membersihkannya. Setelah dibersihkan, ternyata di dalam lemari sudah ada bekal untuk anaknya yang akan menuntut ilmu ke Bangkalan.

Dalam kisah yang lain, saat musim haji Kiai Abi Sudjak, Nyai Zainah (istri kedua) dan bersama putra-putrinya yang masih kecil akan melaksanakan ibadah haji. Agar sampai ke pelabuhan, kendaraan transportasi yang digunakan kereta api. Dalam perjalanan, Kiai Abi Sudjak keluar dari kereta api ketika berhenti di stasiun Pamekasan dan Sampang. Jika menggunakan logika, beliau ketinggalan kereta api. Namun dalam seketika ia berada di dekat Nyai Zainah.

Dalam perjalanan menunaikan rukun Islam kelima itu, saat menaiki kapal, anak-anaknya yang masih kecil bermain tanpa lelah. Yang dikhawatirkan Nyai Zainah anak-anak tersebut jatuh hingga tercebur ke laut saat bermain di pinggiran kapal. Sedangkan Kiai Abi Sudjak, sulit ditemukan keberadaannya. “Zainah, dari tadi saya sedang mengajar,” curah KHR Suharto Winata. Jika menggunakan nalar, Ketika di Makkah, Nyai Zainah sering ditinggal Kiai Abi Sudjak. Namun saat ditanya, pasti jawabannya aneh. “Zainah, dari tadi kami dituntun oleh Nabi Musa AS.” Ucapan ini dibuktikan dengan tongkat Musa (sejenis kayu kecil) yang dipegang saat itu.

Di kediamannya, banyak kisah unik dan aneh terkait tongkat tersebut. Yang Masyhur ialah ketika usai menghadiri ataupun mengisi acara keagamaan di desa-desa, tongkat tersebut biasanya sudah sampai terlebih dahulu di depan pintu rumah. Lebih aneh lagi, keinginan Nyai Zainah ziarah ke makam Rasulullah di Madinah terkabulkan tanpa memegang uang sepeserpun. “Tenang Zainah, pasti Allah memberikan jalan.” Entah dari mana uang itu, tiba-tiba ada di di dompetnya sehingga berangkat ke Madinah dengan menyewa unta.

Karomah yang paling tampak pada santrinya adalah jasadnya memimpin shalat jamaah. Sedangkan ruhnya membantu santrinya yang tenggelam. Suatu hari Kiai Abi Sudjak menyuruh santrinya pergi ke Penarukan pada pukul 17.00 WIB. Santri tersebut dinyatakan tamat dari pesantren. Salah satu instruksinya adalah mendirikan NU. Hanya saja ketika hendak melakukan perjalanan dari Pelabuhan Cangkarman Bluto ke Penarukan, santri itu tenggelam. Posisi Kiai Abi Sujak kala itu sedang memimpin shalat Maghrib bersama santri di pesantren. Namun, di saat shalat berjamaah berlangsung, pakaian Kiai Abi Sujak tiba-tiba basah semua. Jamaah bingung, karena melihat pakaian gurunya basah kuyup. Usut demi usut, ternyata santri yang tenggelam itu meminta pertolongan pada gurunya hingga santri itu selamat dari maut.(Nda)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *