Oleh: Rosadi Jamani (Dosen UNU Kalbar)
Beberapa hari ini ada dua peristiwa menggelitik saya untuk menulis. Peristiwa ini dulu sempat panas, lalu dingin, sekarang panas lagi. Sekarang bumbunya sudah politik, ada kampanye terselubung di balik bakwan.
Peristiwa pertama, soal pemahzulan Presiden Jokowi. Dulu sempat heboh, lalu dingin, eh sekarang heboh lagi. Yang teriak-teriak orangnya itu-itu juga. Mereka datangi gedung MPR, suarakan pemahzulan Jokowi. Mereka juga turun ke jalan, bentangkan turunkan Jokowi. Walau mereka tak ramai, cuma semakin gencar nyerang Jokowi. Semakin mendekati Pilpres, kelompok ini semakin menggeliat. Publik tahu, aksi mereka ingin jatuhkan pamor Jokowi, lalu menaikkan pilihan Capresnya. Memang tak disebutkan siapa capres yang didukung, tapi publik sudah tahu kok. Jejak rekamnya jelas.
Biasanya bila soal tuntutan pemahzulan ini menguat, soal Jokowi tiga periode menguat juga. Yang satu mau nurunin, satunya lagi mau memperpanjang. Yang nurunin atas nama demokrasi. Yang minta tiga periode juga demikian. Bagian inilah indahnya berdemokrasi.
Peristiwa kedua, soal nasab. Sempat panas, lalu dingin, eh sekarang panas lagi. Debat panas ini mengerucut pada isu habib palsu vs kiyai pribumi. Ahli nasab maupun yang hanya ikut-ikutan pada keluar. Ada yang meluruskan, ada menyangkal, ada minta diadu dalam forum ilmiah, test DNA-lah, ada memanas-manaskan. Namanya juga panas, videonya pun viral di medsos. Makin seru. Publik pun tahu ke mana arah debat panas soal nasab keturunan nabi. Larinya soal Pilpres. Walau tak vulgar ke Pilpres, tapi sasaran tembaknya dukungan capres. Sengaja dipanaskan lagi.
Apa maknanya? Demokrasi membuat siapapun bebas bersuara. Tak boleh dihalangi. Bersuara lantang, kritis, silakan. Bahkan mencaci-maki di jalanan tak ada yang larang. Aman-aman saja. Cuma, pasti ada konsekuensi. Anda berani mencaci-maki harus siap juga dicaci-maki. Jangan marah. Anda gencar serang Jokowi, siap juga diserang balik pendukungnya. Jangan marah. Anda beberkan dosa-dosa rezim, Anda juga harus siap dibeberkan dosanya, dibully oleh pendukung rezim. Jangan marah. Berani berbuat, berani juga bertanggung jawab. Itulah hidup di negara demokrasi, bebas bersuara.
Soal nasab, saya tak tahu gimana cara meredakannya. Mungkin salah satu caranya, tunggu selesai Pilpres. Biasanya reda sendiri.#camanewak