Diluar ekspetasi, penampilan peserta Festival Nasional Reyog Ponorogo (FNRP) setiap tahun semakin kreatif. Terbukti, dari empat peserta yang tampil di FRNP ke -XXVIII terus berkembang. Seperti dari Grup Reyog Watoe Dhakon Institut Agama Islam Negri (IAIN) Ponorogo, penampilan mereka diiringi lantunan syair islami Syubbanul Wathon yang diciptakan oleh KH. Abdul Wahab Chasbulloh seorang ulama besar sekaligus pahlawan nasional.
”Persaingannya semakin ketat, dari sisi wilayah garap tari, musik, tata busana dan koreografinya diluar ekspetasi kita,” kata Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga (Disbudparpora) Ponorogo Judha Slamet Sarwo Edi Jumat (14/7/2023).
Ia mengungkapkan, FNRP itu diselenggarakan untuk mempertahankan kesenian asli Ponorogo, sekaligus media untuk mengenalkan kepada dunia. Oleh sebabnya, kreatifitas seniman tidak dibatasi sama sekali. Dengan tujuan supaya peninggalan nenek moyang ini tetap lestari. ”Malam ini, berbagai kreasi semuanya masih dalam frame wirogo, wiroso dan wiromonya Ponoragan,” ungkap Judha.
Kadisbudpora itu menjelaskan, Reyog berkembang diwilayah seniman tradisi. Dapat dikembangkan oleh siapapun asal tidak memasukan instrumen lainya. Seperti dari IAIN bisa dikatakan Reyog Santri, saat pentas mereka menyelipkan lirik dalam nuansa islami. ”Ini sah saja, karena mereka dibesarkan dari ekosistem santri. Disitulah terjadi kolaborasi disaat penutupan (iring-iringnya) bernuansa islami,” jelas Judha.
Dirinya menyebutkan, dalam FNFP ataupun Festival Reyog lainnya yang diselenggarakan Pemerintah Ponorogo itu tidak mengenal pakem. Tetapi, dalam pelaksanaannya ada acuan yang tertuang dalam buku panduan dasar seni pertunjukan Reyog Ponorogo. ”Jadi kita tidak boleh terjebak dalam pakem, dan substansinya pakem itu apa kita perlu duduk bersama,” sebutnya.
Judha berharap, ketika Reyog Ponorogo ter-inskripsi di United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO). Dapat dikembangkan oleh siapapun, yang tidak meninggalkan seni tradisinya. Jika ingin dikembangkan, memberi sentuhan inovasi itu sah saja. ”Ketika sudah terdaftar di UNESCO itu sudah tidak perlu diperdebatkan. Karena disana harus menghindari originalitas, semisal dimainkan di Belanda, Amerika dan Kota atau Kabupaten yang ada di Indonesia. Tentu disana ada akulturasi budaya pada tempat Reyog itu berkembang. Jadi tidak membatasi seniman untuk berkreatifitas dan harus tetap berpedoman pada buku panduan dasar pertunjukan Reyog Ponorogo,”pungkasnya. (Sug/Adj)