Oleh: Rosadi Jamani (Dosen UNU Kalbar)
“Rakyat tak bisa dibohongi lagi, Pak. Rakyat sudah cerdas” Ungkapan ini sering kita baca. Sebuah kalimat menandakan rakyat sudah cerdas, tidak bisa ditipu, dibohongi, dan diiming-imingi dengan materi. Kalau memang sudah cerdas, baguslah itu. Berarti program pendidikan sukses.
Tapi, benarkah rakyat sudah cerdas kalau kaitannya Pemilu dan Pilpres? Ini yang dibahas, rakyat sudah cerdas.
“Rakyat cerdas hanya memilih Anies,” kata kawan di grup WA. Lalu, dibalas, “Kalau rakyat cerdas memilih Anies, berarti kalah. Sebab, yang cerdas hanya sedikit. Selebihnya ya, tidak cerdaslah alias masih mudah kena serangan fajar.”
Sebuah obrolan sederhana, namun sesuai fakta di lapangan. Slogan rakyat sudah cerdas, memang bagus. Menandakan, rakyat yang memilih berdasarkan hati nurani, rekam jejak, dan tanpa imbalan. Ia memilih murni karena ia suka dengan orang yang dipilih. Iming-iming seperti apapun tak membuatnya berpaling. Ia kukuh memilih idolanya. Dikasih sembako, uang, janji proyek, pilihannya bergeming. Pemilih model inilah yang disebut rakyat cerdas atau pemilih cerdas. Sepertinya, saya itu. Eheem…
Masalahnya, model pemilih cerdas macam itu hanya sedikit. Itu yang dibilang di atas, kalau berharap 100 persen ke pemilih cerdas macam saya, ups…eh salah, macam di atas itu, hanya sedikit, segelintir saja. Ya, kalah. Orang yang mau disogok kisaran 50 sampai 300 ribu jauh lebih banyak. Siapa yang tak mau duit. Apalagi dompet lagi bokek, eh ada ngantarin duit di saat subuh hari, langsung ambil.
Banyak cerita soal serangan fajar ini. Kalau tak cayak, ajak mantan caleg gagal ngopi. Ia pasti cerita betapa banyak uang dikeluarkan saat jelang pencoblosan. Ia berusaha main jujur, tanpa ngasih duit, sementara caleg lain hambur-hambur uang. Ya, kalah. Banyak cerita model ini. Di lapangan, para pemilih tak kalah cerdasnya. Pandai mainkan psikologis caleg atau Timses capres.
Ada pemilih mainkan caleg untuk dirinya sendiri. Kadang menjual nama warganya. “Warga saya siap dukung, Bapak. Percayalah, nanti saya arahkan warga saya memilih Bapak.” Ujungnya, duit. Masuk kantong pribadi. Dapat dari satu caleg, lalu pindah ke caleg lain. Begitu terus sampai semua caleg di Dapilnya didatangi.
Ada juga pemilih atas nama warga untuk pembangunan. Biasanya sekolah, masjid, surau, gereja, jembatan dan jalan. Setiap caleg yang masuk ke kampungnya disodorkan proposal pembangunan. “Kalau bapak siap berikan bantuan, warga di sini siap pilih Bapak.” Caleg butuh suara. Pemilih butuh bantuan.
Apakah pemilih seperti itu yang disebut cerdas? Tak tahu lah. Pastinya saya pemilih cerdas, ups hehehe. Soalnya, saya memilih tak pernah minta imbalan. Saya memilih caleg, prioritas utama, keluarga dekat. Ada abang atau adik, kakak ipar, besan, ikut nyaleg, wajib dipilih. Masa’ keluarga sendiri tak didukung.
Bila tidak ada, prioritas berikutnya teman dekat. Apalagi ia pernah membantu dan akrab. Bodo amat parpolnya, bodo amat agamanya, bodo amat sukunya. Ia kawan baik saya. Masa’ orang tak kenal saya pilih. Tak minta duitnya, malah saya bantu promosikan secara gratis.
Bila keluarga, teman akrab tak ada nyaleg, prioritas berikutnya, teman tapi hanya kenal saja, tidak begitu akrab. Bisa teman satu profesi, organisasi, satu daerah, dll.
Biasanya begitu orang dalam memilih atau menjatuhkan pilihan. Yang diperebutkan caleg atau timses capres, pemilih yang tak punya ikatan apapun. Di sinilah perlu kampanye pada pemilih model ini. Bisa dipengaruhi karena ideologi partai, satu keyakinan, satu suku, satu profesi, dll. Bahkan, bisa dipengaruhi dengan materi dan janji. Model seperti ini jauh lebih banyak dari ikatan keluarga atau teman baik. Wajar bila poster, spanduk, billboard, iklan di media, medsos dihiasi foto-foto caleg dan capres. Mereka ingin merebut hati pemilih yang tanpa ikatan itu.
Kembali ke rakyat sudah cerdas atau pemilih cerdas. Menurut saya, hanya manis untuk diungkapkan. Maunya memang demikian. Fakta hari ini, pemilih lebih banyak suka dengan pemberian materi ketimbang rekam jejak. Dari Pemilu ke Pemilu, model pemilih macam ini tidak ada perubahan. Malah pemilih semakin cerdas menguras materi caleg maupun timses. Ada istilah, Timses harus sukses dulu, pemilih nanti ya. Fenomena pemilih hampir tidak berubah wak. Selama sistem Pemilu menggunakan proporsional terbuka. One man one vote. Satu suara sangat berharga.
Pemilih cerdas, ya suka diajak ngopi juga.