Oleh: Hatim Gazali (Dosen Univ Sampoerna)
Salah satu kritik keras terhadap Pendidikan umum adalah ketidakseimbangan antara pengetahuan, sikap dan keterampilan. Pendidikan kita, demikian bunyi kritiknya, lebih fokus pada aspek pengetahuan, aspek-aspek lain sering kali terabaikan. Akibatnya, lahir lulusan yang memiliki pengetahuan yang tinggi tapi defisit sikap dan keterampilan.
Di Pesantren, dalam hemat saya, pengetahuan, sikap, dan keterampilan ini lebih seimbang. Pembelajaran tidak hanya di ruang kelas dan berlangsung secara formal. Pembelajaran juga terjadi di luar kelas melalui pengajian-pengajian baik di masjid, musholla, maupun bahkan di kamar yang dipimpin oleh kepala/ketua kamar.
Materi pelajaran sebagian langsung dipraktikkan, sebagian disesuaikan dengan tradisi-budaya pesantren. Yang langsung dipraktikkan seperti menghormati ilmu pengetahuan, guru dan orang tua. Buku (terutama Kitab Kuning), misalnya, tidak dibawa dengan penuh penghormatan: digendong (seperti gendong anak) agar tidak sejajar dengan pantat. Demikian juga penghormatan kepada guru. Kitab ta’limul muta’allim bukan hanya dipelajari, tetapi juga dipraktikkan. Sikap menunduk di hadapan guru dan cium tangan guru adalah salah satu wujudnya.
Sebagian pengetahuan itu disesuaikan dengan tradisi-budaya pesantren. Ada banyak contoh tentang hal ini. Mereka belajar bahwa makna jihad dalam kitab-kitab itu al-qital (membunuh), dan seringkali yang menjadi objek adalah orang-orang kafir. Namun, materi pelajaran tersebut tidak seketika dipraktikkan dengan turun ke lapangan mencari orang-orang kafir untuk dibunuh.
Sebaliknya, para santri justru memiliki toleransi yang tinggi terhadap pemeluk agama lain. Lalu, dari mana datangnya toleransi tersebut, padahal kitab-kitab yang mereka pelajari tidak melulu berisi tentang toleransi. Memang, beberapa kitab kuning menyinggung soal toleransi beragama. Tapi sebagian yang lainnya, tidak jarang mengajak untuk berjihad dalam makna al-qital (membunuh).
Saya berasumsi bahwa toleransi para santri itu terbentuk dari tradisi-budaya dan keteladanan kiai. Sekalipun dalam kitab-kitab yang mereka pelajari berisi tentang jihad dengan beragam maknanya, budaya pesantren dan keteladanan kiai menjadi wadah yang membungkus pengetahuan dan sikap para santri. Alhasil, dalam konteks tertentu, materi-materi yang bersumber dari kitab kuning tersebut dikontekstualisasikan —pribumisasi dalam istilah Gus Dur—dengan tradisi budaya masing-masing pesantren.
Demikian juga tentang keterampilan. Keterampilan di sini tidak hanya keterampilan teknis seperti mengetik, mendesain, bikin video, dan lain-lain tetapi juga keterampilan umum. Para santri membekali keterampilan itu seringkali tidak melalui kelas-kelas, melainkan melalui kegiatan dan budaya pesantren.
Abah saya, KH. Ghazali Ahmadi, ketika mondok di Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo, memiliki keterampilan teknis dan non-teknis soal bangunan yang menurutnya bersumber langsung dari KHR. As’ad Syamsul Arifin. “Saya sering diajak membantu kiai terkait dengan konstruksi bangunan, diajari bagaimana komposisi semen dan pasir, kedalaman fondasi, dan bahkan terkait dengan bagaimana mengatur sirkulasi udara di dalam rumah”, demikian Abah seringkali menuturkan.
Juli ini, Abah sudah dua tahun meninggalkan kami semua. Mohon berkenan untuk membacakan bacaan al-Qur’an ataupun surat ikhlas. Semoga beliau dilapangkan kuburannya, diampuni segala dosa-dosanya, dan ditempatkan di tempat terbaik di sisi Allah. Aaaamiiin.