Aswaja News – Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko didampingi Wakil Bupati Lisdyarita turun kesawah, dalam rangka memperingati Farm Field Day (FFD). Ditemani oleh perwakilan dari Forkopimda dan Ketua Cabang Bulog Ponorogo, Selasa (27/62023) di Desa Mojorejo, Kecamatan Jetis, Kabupaten setempat.
Kepala Dinas Pertanian, Ketahanan Pangan, dan Perikanan (Dispertahankan) Ponorogo Masun mengatakan. Kegiatan memperingati hari temu lapang atau yang biasa disebut turun keladang, itu bertepatan dengan waktunya memanen padi Sekolah Lapang (SL) Gerakan Pertanian (Genta) Organik.
Tahun ini ada 10 kelompok tani yang menjadi sasaran Genta Organik, masing-masing menerima pembuatan pupuk organik cair dan padat. Pelatihana pembuatan pupuk hayati berbahan dasar moodle, pembuatan peptisida alami dan pembuatan pembuat pembenah tanah arang sekam. ‘’hasil dari pelatihan itu diterapkan diladangnya masing-masing. Minimal satu kelompok mempraktekan di lahan setengah hektar.’’ Kata Masun.
Ia mengungkapkan, jika dari 10 kelompok tani itu mereka menanam setengah hektar, berarti ada sekitar lima hektar sawah yang ditanami padi dengan pupuk organik. Saat ini sudah waktunya memanen, ketika di lihat hasilnya rata-rata satu hektarnya menghasilkan 7,4 ton gabah kering panen (GKP). ‘’Bahkan ada yang berhasil mencapai 7,7 ton GPK,’’ ungkapnya.
Disamping itu, Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko mengatakan, sejak awal dilantik menjadi Bupati Ponorogo, dalam visi dan misinya pertanian harus hebat. Ketika data dibuka, terdapat banyak masyarakat yang memiliki lahan pertanian dibawah dua kotak jumlahnya 27 persen dari populasi masyarakat petani. ‘’Mau dikasih benih yang paling bagus dalam satu kotak menghasilkan satu ton itu sudah mending. ‘’ kata Kang Bupati sapaan akrab Sugiri Sancoko.
Bupati Sugiri merinci, jika dalam satu kotak menghasilkan satu ton padi dengan harga 6.000 perkilo itu pendapatannya hanya 6 juta saja. Dibagi menjadi empat bulan, pendapatannya hanya 1,5 juta. Dikurangi oleh biaya tanam, beli pupuk, pengairan dan honor pekerja. Mungkin dalam satu bulan hanya tinggal 200 ribu. ‘’Itu belum untuk meragati anak sekolah, membeli buku dan lainnya,’’ rincinya.
Kang Giri bermimpi besar, membuat inovasi dengan program rojo koyo. Dulu disetiap rumah memiliki sapi. Dimusim tanam, menjadi penggerak bajak sawah. Disamping membantu petani dalam produksi, nilai jualnya juga tinggi. Selain itu, dibelakang rumah terdapat akmbing dan ayam dengan jumlah yang lumayan banyak. Semuanya dapat saling berkesinambungan, Jerami hasil panen buat makan ternak, dan kotorannya bisa dibuat pupuk organik. ‘’Kalau itu bisa berjalan kembali, bakal menjadi satu ekosistem yang dahsyat. Bisa buat menyekolahkan anak, dan untuk memenuhi kebutuhan lainnya,’’ pungkasnya. (Win)