Oleh: Rosadi Jamani (Dosen UNU Kalbar)
Pasti sering baca ajakan seperti di atas. Iya, kan. Ada satu lagi, “Tingkatkan Ukhuwah Islamiyah” Sering dan selalu muncul di momen-momen tertentu. Biasanya, momen mau menjatuhkan rezim, kutuk Israel, hancurkan zionis Israel, ganyang PKI, lawan laknatullah komunis, hancurkan Cina. Setelah itu, ada kalimat berikutnya, Boikot Produk Yahudi, Cina, bahkan India. Benarkan, ayo ngaku. Iya, ungkapan “Saatnya Umat Islam Bersatu” sebuah jargon ingin menyatukan seluruh umat Islam di Indonesia, bahkan dunia.
Jargon itu sangat mudah diucapkan. Semudah membalikkan telapak tangan. Ditulis di spanduk, WA, poster, dan flyer pun sangat mudah. Mudah, tapi susah mewujudkannya, bahkan mungkin tak bisa.
Malam minggu ni, Bang. Jangan cerite umat, cerita asmara saja, kan asyik, Bang.
Iya sih, malam minggu memang asyik bagi yang sudah dipersatukan cinta. Akan sengsara bagi jomblower. Orang memadu kasih di pojok, ia malah pas-pus ngisap rokok sendirian di teras Warkop. Ee…kok ngomong jomblo pula, tadikan soal jargon. Maaf ya…!
Jargon “Saatnya umat Islam Bersatu” apakah bisa diwujudkan? Ini yang mau dibahas di tengah hiruk-pikuk malam minggu. Apakah bisa umat Islam bersatu? Bagaimana cara menyatukannya? Pertanyaan berat untuk dijawab. Guru besar menjawabnya pasti buka banyak kitab klasik dulu untuk mendapatkan cara menyatukan umat Islam.
Begini wak. Populasi muslim Indonesia 86,7 persen dari 273,8 juta rakyat Indonesia. Jumlah ini menempatkan populasi muslim Indonesia terbesar di dunia. Jumlah 86,7 persen itu apakah bisa disatukan? Jelas bisa. Bisa disatukan dalam NKRI. Bisa disatukan dalam aturan UUD45 dengan asas Pancasila. Kalau sudah nyebut Pancasila, pasti mulai ragu. Mana bisa disatukan dengan Pancasila, mestinya dengan Alquran. Baru satu, soal Pancasila, mulai mikir, ragu-ragu, bahkan mulai menentang, tak mau Pancasila dijadikan asas, maunya Alquran dan hadis.
Berikutnya, apakah 86,7 persen itu bisa disatukan dalam satu mazhab. Tak usahlah satu, empat mazhab saja. Apakah bisa? Pasti menjawab, tidak bisa. Ya, memang tidak bisa. Nyatukan NU dengan Muhammadiyah menentukan Idulfitri saja susah. Benar ndak? Belum lagi nyatukan banyak mazhab. Nah, mau disatukan dalam satu mazhab, mazhab yang mana dipilih. Mazhab baru, atau mazhab Syafii saja. Penganut Mazhab Hanafi pasti menolak. Apalagi penganut mazhab salafi wahabi. Masih bisa disatukan? Sila mikir sendiri.
Berikutnya soal tauhid. Kaum ahsunnahwaljamaah (Aswaja), rujukan utamanya Asy’ariyah. Ada sifat 20. Ada lagi kaum yang tak mau sifat 20 ini. Maunya trilogi tauhid, yakni rububiyah, uluhiyah dan al-asmâ’ was-shifât. Dua jenis tauhid ini, apakah bisa disatukan?
Aduh, pusing saya, Bang. Rokok Surya dululah.
Ente ni, rokok Surya saja, tak bisakah, rokok lunglat warisan nenek moyang itu. Lagi serius ni, nanti dibelikan.
Berikutnya dalam soal pemimpin. Nah, paling sering seru. Apakah umat Islam bisa disatukan dalam memilih pemimpin. Saya jawab, tidak bisa. Why? Sebab, di kita, parpol lah yang nyiapkan pemimpin, umat Islam memilihnya. Contoh sekarang, ada figur Ganjar, Prabowo, dan Anies. Mereka tengah digodok oleh parpol pengusungnya untuk didaftarkan ke KPU. Begitu sah jadi Capres, silakan pilih, mana yang disukai. Bisakah yang 86,7 persen diajak milih Anies (misalnya). Pendukung Ganjar pasti bilang, “Ogah!” Begitu sebaliknya. Pertanyaannya, apakah umat Islam bisa disatukan?
Berikutnya soal ketaatan. Pasti sudah tahu Islam KTP atau Islam Abangan. Ada juga Islam taat yang rajin ke masjid dan pengajian. Ada juga Islam intelektual. Islam Nusantara. Islam Berkemajuan. Islam terpadu. Dan jenis Islam lainnya. Apakah bisa disatukan? Silakan dipikirkan.
Belum lagi soal organisasi Islam atau Ormas. Beda ormas, beda tujuan. Lho yang suka jelekin NU, bisa ndak masuk NU. Pasti tak mau kan. Lho yang suka bid’ahkan amalan NU, mau ndak diajak tahlilan. Pasti tak mau. Begitu juga Ormas, tidak bisa disatukan, karena masing-masing punya kepentingan.
So, bagaimana dengan jargon “Saatnya Umat Islam Bersatu” Mudah diucapkan, susah diwujudkan, mungkin tidak bisa. Memang tidak bisa disatukan, tapi dalam hal-hal tertentu, bisa. Misalnya, bersatu melawan kebodohan dengan cara meningkatkan kualitas pendidikan. Pasti setujukan. Mari bersatu lawan kebodohan. Kecuali, orang yang bodoh saja yang tak mau diajak. Seru sih, cuma cukup di sini dulu ya, mau belikan kawan rokok dulu. Mulutnya sudah asem, katanya.