Aswaja News – Sejarah kurban bermula dari kisah nabi ibrahim yang mendambakan seorang anak, sehingga beliau berdo’a dan memohon kepada Allah untuk diberikan keturunan. Pada saat itu beliau berdoa kepada Allah:
“Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh.” (QS Ash-Shafaat: 100).
Kemudian Allah memberikan kepadanya kabar gembira akan lahirnya seorang anak yang sabar, cerdas, dan santun. Dialah Ismail, yang dilahirkan oleh Hajar. Menurut para ahli sejarah, Nabi Ismail lahir ketika Nabi Ibrahim berusia 86 tahun.
Ketika Ismail beranjak dewasa, Nabi Ismail sedang berumur tujuh tahun, ada juga yang mengatakan berumur tiga belas tahun, sebagaimana yang dijelaskan Syekh Wahbah Zuhaili dalam Kitab Tafsir Al-Munir. Nabi Ibrahim mendapatkan mimpi untuk menyembelih Ismail, tetapi beliau tidak langsung membenarkan mimpi tersebut. Beliau memohon dan bermunajat kepada Allah agar diberi petunjuk. Pada malam kedua dan ketiga ternyata beliau bermimpi hal yang sama, dan menyampaikannya kepada Ismail, “wahai anakku! sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku dalam mimpiku itu diperintah oleh Allah untuk menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” dengan penuh kepasrahan kepada Allah dan ketaatan pada ayahnya, Ismail menjawab, “wahai ayahku! lakukanlah apa yang diperintahkan oleh Allah kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar dalam melaksanakan perintah-Nya”.
Sebagai hamba yang taat pada perintah Allah, Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail melaksanakan apa yang telah menjadi perintah bagi keduanya. Dengan hati yang sedih dan berlinangan air mata, keduanya harus ikhlas demi melaksanakan perintah-Nya. Nabi Ibrahim dengan penuh ketaatan mengorbankan anaknya untuk disembelih dihadapannya, begitu pula Ismail yang sangat tabah dan ikhlas untuk melaksanakan perintah Allah.
Setelah keduanya sepakat untuk melakukan penyembelihan, Nabi Ibrahim membawa Nabi Ismail ke Mina dan membaringkannya di atas pelipisnya. Sebelum penyembelihan, Nabi Ismail mengatakan pada ayahnya dengan penuh keikhlasan, yaitu:
“Wahai ayahku! Kencangkanlah ikatanku agar aku tidak lagi bergerak, singsingkanlah bajumu agar darahku tidak mengotori, dan (jika nanti) ibu melihat bercak darah itu niscaya ia akan bersedih, percepatlah gerakan pisau itu dari leherku, agar terasa lebih ringan bagiku karena sungguh kematian itu sangat dahsyat. Apabila engkau telah kembali maka sampaikanlah salam (kasih)ku kepadanya.”
Ucapan ismail tersebut menambah kesedihan Nabi Ibrahim dan menangislah keduanya, betapa lapang dada seorang anak yang taat pada Tuhannya. Nabi Ibrahim harus merelakan anaknya yang dulu sangat didambakannya dan melepaskannya demi menjalankan perintah Allah.
Nabi Ibrahim melakukan apa yang telah disampaikan oleh putranya. Kemudian Nabi Ibrahim menciumnya dengan penuh kasih sayang dan linangan air mata. Setelah pisau tajam sudah ada di tangannya, ia meletakkan pisau tajam itu ke leher Nabi Ismail, namun keajaiban datang dari Allah. Pisau itu ternyata sama sekali tidak melukai Nabi Ismail. Beberapa kali Nabi Ibrahim mengulanginya, namun tetap tidak mempan. Jangankan melukai, bahkan pisau itu tidak memberi bekas apa pun pada Nabi Ismail. Pada saat itulah Allah berfirman:
وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلاءُ الْمُبِينُ وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ وَتَرَكْنَا
عَلَيْهِ فِي الْآخِرِينَ.
Artinya: “Lalu Kami panggil dia, ‘Wahai Ibrahim! Sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu.’ Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sungguh ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim (pujian) di kalangan orang-orang yang datang kemudian,” (Surat As-Saffat ayat 104-108).
Begitulah kisah dramatis yang penuh hikmah dan keteladanan dari seorang ayah dan anaknya yang begitu taat dalam melaksanakan perintah Tuhannya. Bahkan, setelah itu bertambahlah keimanan dan ketakwaannya kepada Allah subhanahu wa ta’ala. (DAF)